"Raelta!" Bentak seorang lelaki berbadan besar.
"Ya... Yang Mulia Raja," jawab Raelta. Keadaannya saat ini jauh dari kata baik. Muka yang pucat, kaki dan tangan yang bergetar, dan tubuh yang dapat tumbang kapan saja. Raelta selalu merasakan hal seperti ini jika berhadapan dengan ayahnya.
"Kenapa kau bangun telat hah? Penerus takhta mana yang hidupnya tidak teratur?"
Raelta meneguk salivanya kasar. Padahal sejujurnya, Raelta hanya telat dua detik sebelum pintu tempatnya dan Devabrata belajar tertutup.
"Jawab! Sejak kapan keturunanku bisu?" Sang Raja kembali membentak.
Sementara di sisi lain, Devabrata yang baru saja masuk lingkungan Istana setelah latihan berpedang menghembuskan napasnya kasar. Bukan karena ia tidak peduli kedaan saudara kembarnya, tapi karena dia adalah bukti kemalasan Raelta pagi ini. Sudah tiga puluh kali ia membangunkannya saudaranta itu hanya berkata "tunggu aku masih mengantuk."
Devabrata berjalan dengan santainya melewati Raelta dan Raja, kalau kita tidak salah mengapa harus takut bukan?
"Berhenti kau!" Tekan Raja.
Devabrata menghembuskan napasnya kasar dan segera berbalik. Netranya menatap tajam mata Raja. Tidak ada setitikpun rasa takut di sana. Inilah yang membuat Raja selalu mencari-cari kesalahannya.
"Apa yang kau lakukan? Baru darimana saja kau?"
"Latihan berpedang. Baginda sendiri yang menyuruhku melakukannya kemarin pagi," jelas Devabrata dengan tenang.
Raja bergeming. "Kenapa lama sekali hah?"
"Ayah menyuruhku melawan lima prajurit tingkat atas. Kebanyakan dari mereka berusia di atas tiga puluh tahun dan aku ini delapan tahun. Dari segi umur saja sudah jelas mengapa aku menghabiskan waktu yang sangat lama," jawab Devabrata. Sekali lagi secara percaya diri dan tenang.
Raja kembali bergeming. Devabrata adalah orang yang sempurna untuk penerus takhta. Berdebat saja dia dikalahkan olehnya.
***
Devabrata tersenyum miring mengingat kejadian saat dirinya berumur delapan tahun itu.
"Apa yang membuatmu tersenyum?" Raja bertanya dengan air muka kecut.
Keduanya saat ini berada di ruang kerja pribadi Raja. Sekali lagi, Raja sedang mencari-cari kesalahannya. Berharap dengan mencari kesalahannya, rakyat tak akan mau Devabrata menjadi penerus dan akhirnya membuat takhta berada di tangan generasi berikutnya lagi. Berbeda dengan Raja Tandra yang tidak menyukai takhta, Raja Pas Attendu justru menggilainya.
"Tidak ada," jawab Devabrata enteng. Cukup hadapi Raja dengan tenang dan pintar, hal ini akan membuatnya merasa malu dan bodoh dengan sendirinya.
"Lalu mengapa kau tersenyum? Kau kira aku ini bodoh?"
"Apakah salah jika aku tersenyum? Suasana hatiku sedang baik hari ini. Bukankah tidak baik jika aku tidak membagikannya padamu yang sedang dalam suasana hati yang terbakar?"
"Kurang ajar!" Raja meneguk salivanya kasar. Bagaimanapun yang dikatakan Devabrata adalah kebenaran.
"Jika tidak ada lagi yang ingin disampaikan, saya pamit undur diri," ucap Devabrata pelan.
Setelah berada diluar ruangan, Devabrata menghembuskan napasnya kasar. Perlahan, ia melangkahkan kakinya menjauh dari ruangan ayahnya, membiarkan instingnya membawanya entah kemana.
Lima belas menit menit Devabrata berjalan tanpa arah sampai kakinya berhenti melangkah di hadapan sebuah tanah lapang. Devabrata menatap sekelilingnya, maniknya menangkap pemandangan sebuah pohon oak besar. Ia tersenyum samar.
"Belle," gumannya.
Pohon tersebut adalah Belle. Sebuah pohon besar yang cantik. Belle tumbuh dengan penuh sihir. Dapat dilihat dari daunnya yang berwarna merah terang dan biru muda. Pohon yang menjadi saksi dekatnya hubungan masa kecil Devabrata dan Raelta.
Pohon ini ditumbuhkan oleh keduanya. Tepatnya oleh sihir keduanya. Sihir Raelta yang berwarna merah terang dan sihir Devabrata yang berwarna biru muda. Kalau dipikirkan masa kecilnya sangat singkat bukan? Hanya sepuluh tahun.
Tapi itu sudah cukup untuknya. Memangnya apa yang dia bisa? Memangnya dengan berkhayal tentang masa kecilnya, maka masa kecilnya akan kembali? Tidak kan? Jadi lebih baik jalani saja yang masih ada dan raih yang bisa diraih.
Devabrata menghela napasnya kasar. "Andai aku tidak mengatakan yang sebenarnya saat itu. Apakah sekarang kebahagiaan ku masih utuh? Apakah Raelta masih ada di sampingku saat ini? Apakah Rosalina masih akan merangkulku dengan penuh kasih sayang?"
Jika dia bisa mengulang waktu, Devabrata tidak akan mengulanginya. Mengulang kata-kata yang memulai semuanya. Andai saat itu Devabrata berkata dirinyalah penyebab semuanya, mungkin saat ini Devabrata dapat berdiri bahagia bersama Raelta dan Rosalina?
"Berandai-andai saja terus," ucapnya. Dengan cepat Devabrata berlari kembali menuju kawasannya. Meninggalkan segala kenangan yang memang seharusnya ditinggalkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
THE TRUTH OF THE VILLAINS
FantasySeorang wanita berdiri gemetar ditengah tengah persidangan. Menunggu keputusan apakah dia akan dihukum mati atau dibiarkan hidup. Soraya, putri dari duke Anarres diduga meracuni putri dari viscount Debaran Elea. Soraya dikatakan mencampurkan racun d...