28. Bersama

990 88 1
                                    

BUM!

Soraya memejamkan matanya mendengar suara ledakan yang berasal dari tangannya sendiri.

"Tidak tidak. Jangan pakai cara seperti itu. Kau lebih terlihat akan memukul orang dibandingkan menggunakan sihir," ucap Blanc dengan kepala yang digeleng-gelengkan.

"Sudahlah. Lebih baik aku belajar pedang saja bersama Devabrata," ucap Soraya kesal. Sudah sepuluh kali Soraya melakukan sihir penyerangan dan semuanya dikatakan salah. Delisa adalah guru yang sepuluh kali lipat lebih baik dibanding si kembar ini.

"Hei hei, jangan. Begini Nona muda. Aku tahu kau punya banyak energi sekarang. Tapi alangkah baiknya kau menggunakan energi dengan hemat. Dengan begitu, kau akan bisa bertahan lebih lama," jelas Noir cepat-cepat.

"Aku mengerti. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengendelikan energi yang meluap ini," ucap Soraya dengan kepala tertunduk. Saat ini, dadanya terasa bergejolak kencang. Ada rasa tak sabar dan Soraya tidak tahu itu karena apa.

"Heh. Itu karena dirimu juga yang ingin mengeluarkan semuanya kan?" Blanc bertanya nyinyir.

"Iya sih." Soraya menggoyang-goyangkan kakinya.

Belajar dengan ahlinya memang berbeda. Tapi seharusnya mereka tidak langsung mengajarkan tingkat yang setinggi itu. Naik ke tingkat sepuluh saja susah baginya, dan sekarang? Mereka langsung mengajarinya tingkat dua belas. Memang tubuh ini cepat menyerap sihir dan otaknya pintar, tapi kan yang menghadapi semua ini tetap dirinya.

Blanc menghembuskan napasnya berat. "Dengar Nona, aku pastikan, beberapa tahun lagi kau akan menciptakan sejarah baru. Dan untuk mencapai itu, berlatih adalah hal yang sangat kau butuhkan."

Soraya hanya mengangguk lesu. Dia senang dipuji seperti itu, tapi dia juga kesal memikirkan betapa banyak latihan yang harus ia lewati.

***

Trak!

"Baik, Soraya. Sepertinya kamu sedang kesal. Tapi tolong jangan lampiaskan itu padaku," lirih Devabrata saat pedangnya terjatuh untuk yang kesekian kalinya. Dia ingin membalas, tapi sepertinya Soraya sedang marah. Melawan orang yang sedang marah adalah tindakan yang sia-sia.

Soraya hanya diam. Devabrata tersenyum tipis. Perlahan, Devabrata meraih tangan Soraya dan menariknya kearah taman Istana yang hanya terletak beberapa meter dari halaman latihan pedang. Taman yang akan selalu menjadi tujuan Devabrata saat suara-suara di kepalanya terus berisik.

"Energi ini anugerah, tapi juga tekanan," ucap Soraya begitu mereka sampai.

Keduanya berbaring dibawah sebuah pohon ek besar. Angin yang datang terus menerbangkan helaian rambut keduanya.

"Aku mengerti." Devabrata mengusap pelan kepala Soraya.

Soraya menundukkan kepala. Rasa-rasanya tidak enak menceritakan hal ini pada Devabrata. Soraya jelas tahu hal apa saja yang telah lelaki di sebelahnya ini lalui sepanjang hidupnya.

"Kamu tahu Dev, ada sebuah rahasia besar yang aku sembunyikan darimu," ucap Soraya ragu.

"Aku tahu," lirih Devabrata. "Saat Penyihir Agung memberitahukan kalau kamu yang sekarang berbeda, aku mengerti maksudnya. Terlebih, aku secara tidak sengaja membaca buku harian yang kau selipkan di atas nakas kamarmu," jelas Devabrata pelan.

"Pasti kecewa ya," gumam Soraya.

"Tidak. Justru aku berterimakasih. Karena hanya ada satu hal yang membuat jiwa seseorang berpindah menurut buku yang aku baca, kematian. Atau dapat dikatakan, Sorayaku sudah mati," ucap Devabrata dengan nada sangat pelan. "Tapi, aku bisa merasakan hal yang sama denganmu. Ketulusan dan kehangatan yang banyak. Itu sudah cukup. Ak-" ucapan Devabrata terpotong saat Soraya memeluknya secara tiba-tiba.

"Ah, maaf." Soraya cepat-cepat melepaskan pelukannya. "Berat sekali mengatakan hal ini. Rasanya ada hal yang selalu menghantuiku setiap hari."

Devabrata tersenyum tenang. Entah Soraya yang dulu atau Soraya yang sekarang, keduanya sama. Jika Soraya yang dulu dapat memberikan ketenangan, yang sekarang lebih. Jika Soraya yang dulu dapat membuatnya tersenyum, Soraya yang sekarang dapat membuatnya tertawa.

"Saat ini keadaan kita berbeda ya. Sepertinya baru kemarin kita melakukan pesta debutante," ucap Soraya menerawang. "Dan sekarang bahkan kita tidak tahu kapan kita masih bisa membuka mata," lanjutnya.

Devabrata menghembuskan napasnya pelan. Yang Soraya ucapkan benar, mereka sedang mengalami perang besar. Dan keduanya terlibat. Bagaimanapun, sekuat apapun mereka. Mereka masih remaja ingusan di mata dunia. Mereka mungkin kuat, tapi pengalamannya tidak.

"Jangan pikirkan hal-hal seperti itu."

"Kamu memikirkannya juga kan," sindir Soraya membuat Devabrata tertawa kecil.

Hening menyelimuti keduanya kemudian, bukan hening yang canggung. Beberapa kali hembusan angin kencang menerpa keduanya, membuat rambut Soraya menari-nari.

Soraya cantik. Sangat cantik bahkan. Mata merah dan rambut emasnya adalah sesuatu yang luar biasa indahnya. Terlebih, Soraya yang selalu menonjol tentu saja menambah pesonanya. Terkadang Devabrata berpikir, kenapa bukan dia yang menonjol? Bukankah itu yang dibutuhkan seorang Raja? Dilihat dan dihargai. Tapi sekarang Devabrata tahu kenapa mereka tidak memilikinya. Keluarga mereka tidak memilikinya, kasih sayang.

***

THE TRUTH OF THE VILLAINS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang