19. Saksi Pernyataan Perang Kerajaan

1.6K 167 0
                                    

"Devabrata!" Soraya berseru membuat semua orang dalam ruangan kerja Devabrata menatap heran kepadanya. "Maaf," ringisnya pelan.

"Kenapa?" Devabrata menatap penuh heran pada Soraya. Baru kali ini Soraya mendobrak pintu kerjanya seperti ini. Devabrata akui saat ini kekuatan Soraya hampir setara dengannya, dengan tambahan otak pintarnya. Tapi bukan berarti Soraya dapat masuk dengan barbar seperti itu kan?

"Kalian bisa keluar," ucap Soraya pelan.

Beberapa orang di dalam ruangan segera berjalan keluar ruangan Devabrata. Mereka tidak akan berbuat macam-macam pada Soraya. Berita tentang Soraya yang ikut bertarung dalam perang tersebar diseluruh kerajaan. Entah siapa yang menyebabkan rumor itu, tapi Soraya tidak peduli.

"Kenapa?" Devabrata mengulang pertanyaannya.

Soraya menatap manik Devabrata dalam. Devabrata yang ditatap tajam menaikkan alisnya penasaran.

"Raelra. Dia terlihat menuju kemari," lirih Soraya sangat pelan.

Tubuh Devabrata meremang, kenapa? Tanpa sadar, tubuhnya beranjak berdiri. Membuat kursi yang didukinya berdecit kebelakang.

"Tenang. Kumohon. Jangan bertindak bodoh, rakyat belum tahu kebenarannya. Jangan gegabah dan memperburuk suasana," bisik Soraya.

Devabrata mengerjapkan matanya cepat. Pandangan kosongnya berubah menjadi tatapan sendu yang kentara.

Soraya menghela napasnya kasar. Kalau sudah begini, kacau sudah rencana mereka.

"Deva, aku tahu kau tidak sebodoh itu. Siapkan dua pengawal yang akan mengawal kita. Siapkan juga sepuluh pengawal dan tiga penyihir yang mengawasi dari jauh. Sebisa mungkin kita tidak akan membuat keributan," ucap Soraya pelan sebelum dengan cepat ia berlari keluar ruangan.

***

Mereka berada di pasar saat ini. Dengan pakaian lengkap seorang anggota kerajaan, tapi dengan keadaan yang biasa. Mereka akan bersikap seperti sedang berbelanja, dan membuat rakyat tidak berlarian dan membuat keributan. Menyamar atau tidak, aura Soraya terlalu kentara. Tidak ada gunanya mereka menyamar.

Soraya berjalan lebih dulu memasuki pasar, beberapa rakyat yang berpapasan dengannya menunduk dan memberi jalan. Sesekali ia tersenyum pada anak kecil yang menatapnya takjub.

"Soraya. Aku melihatnya," bisik Devabrata pelan.

Soraya sontak mengalihkan pandangannya kearah panggung kecil pasar. Sebuah panggung tempat para pengamen pasar menjalankan aksinya. Terlihat seorang pemuda yang familiar berdiri dengan gagah.

Bergegas, keduanya berlari kearah panggung kecil tersebut. Raelta jelas menyadari kehadiran mereka, bahkan dia tersenyum kearah keduanya.

"Diam di posisimu. Jangan ikuti kami," perintah Devabrata pada seorang pengawal yang dengan bodohnya ikut berlari bersama mereka, membuat beberapa orang menatap penasaran.

"Selamat pagi para rakyat yang aku cintai!"

Terlambat. Soraya dan Devabrata menghentikan langkahnya saat jarak mereka hanya terpisah satu meter dari Raelta. Kini ketiganya jelas menarik perhatian semua orang. Terutama karena Raelta yang memiliki wajah yang sangat mirip dengan Devabrata.

"Ah, sepertinya kalian tidak mengenalku ya. Menyedihkan sekali," ucapnya lirih membuat banyak orang mulai membisikkan hal-hal tidak masuk akal.

"Aku Raelta. Raelta Elgara Martanesia! Saudara kembar calon rajamu, Devabrata!" Ia berseru dengan senyum lebar di wajahnya.

Berbagai ekspresi tercipta pada wajah orang-orang disana. Entah apa yang mereka pikirkan, tapi Soraya yakin itu bukanlah hal yang dia harapkan.

"Aku meninggalkan kerajaan ini karena kemauanku. Aku tidak suka berada di sini. Oh ya, aku ingin memberi tahukan satu hal lagi," serunya lagi.

Raelta menatap sejenak pada Soraya, membuat beberapa rakyat ikut menatapnya. "Aku, menyatakan perang pada kerajaan Martanesia!" serunya keras.

Tubuh Soraya dan Devabrata mematung seketika. Mereka tidak pernah berpikir hal seperti ini sebelumnya. Ditambah, Raelta melepaskan gelar keluarga kerajaannya. Apakah ia masih memiliki otak untuk berpikir? Menyatakan perang di hadapan seluruh rakyat adalah hal paling tidak masuk akal yang pernah dilakukan.

Soraya menaikkan dagunya, berbanding terbalik dengan Devabrata yang menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Lakukan," ucap Soraya membuat semua atensi terarah padanya. "Lakukan apa yang kau mau. Aku peringatkan, ambil keputusan yang benar. Jika kau mengambil keputusan yang salah, terimalah resikonya," lanjutnya.

Soraya meninggalkan pasar setelahnta, diikuti oleh Devabrata dan kedua pengawal yang sedari tadi hanya diam menunggu. Sedangkan di sisi lain, Raelta dalam suasana hati yang jauh dari kata baik. Tidak pernah sekalipun ia berpikir kata-katanya tadi akan dibalas dengan sangat tenang oleh seorang gadis. Lelaki itu mengepalkan tangannya. Dengan perasaan kesal, ia berlari dengan kencang meninggalkan pasar.

Saat ini, kerajaan Martanesia telah digemparkan dengan berita peperangan kerajaan oleh anggota kerajaan yang berkhianat.

THE TRUTH OF THE VILLAINS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang