Kulacino
────
Jejak air di meja..
•·················•·················•
❛❛Bagaimana bisa aku mengatakan kehilangan jika sejak awal tidak pernah memiliki.❞
⚘•·················•·················•
Perlahan, kantin mulai ramai oleh murid-murid yang kelaparan atau sebagian hanya sekedar duduk santai sebelum pelajaran kembali dimulai. Begitu juga aku dan Haechan. Kami sudah mengisi satu meja paling jauh dari kerumunan murid kelaparan. Di meja kami sudah ada dua makanan dan dua minuman. Jangan salah, kedua makanan itu milik Haechan. Aku tidak memesan makanan karena memang sedang tidak ingin.
"Jisung hari ini sudah masuk kan Le?"
Aku mengangguk sebagai jawaban. Memang tadi pagi aku melihat Jisung. Pria itu tampak beda dari biasanya, terlihat lebih segar dan rapih dari biasanya. Bahkan rambutnya dibentuk dengan pomade.
"Kau kenal--"
"Tidak." Kataku memutus kalimat Haechan, memandang cappuccino dingin yang meninggalkan jejek air dimeja. Terasa sendu, padahal tidak hujan.
"Haruskan aku menegurnya?" Haechan yang memang lebih berani dari diriku kembali bertanya.
"Tidak perlu, aku masih baik-baik saja."
"Kau yakin." Haechan menyeruput jus alpukat nya. "Bahkan sejak pagi kau hanya diam dan bolak-balik membuka room chat Jisung." Uajarnya santai sembari tertawa renyah. "Chenle ucapanku soal menghajarnya jika dia menyakitimu, aku tidak pernah bercanda akan hal itu!"
"Aku tahu!"
Ini yang aku suka dari Haechan, gadis itu terlalu berani melakukan sesuatu. Tidak sepertiku yang lebih memilih tetap diam atau menjauh. Haechan sipemilik wajah jutek dengan penampilan dingin membuat gadis ini menjadi salah satu deretan gadis paling tak tersentuh di sekolah. Bukan tidak ada yang berani mendekatinya, hanya saja pertahanan dirinya yang kuat. Maksudku, dia tidak membiarkan seseorang menyentuh hatinya jika bukan dia yang membukanya lebih dulu.
Mendadak, aku jadi merasa lesu, pikiranku melayang jauh pada sosok lelaki yang memang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini. Yap, masih tentang jakam itu. Tadi pagi aku melihatnya menuju ruang kepala sekolah karena hari ini menjadi akhir masa skorsnya, entah apa yang sedang diurusnya. Dan itu menjadi alasanku sedikit menyesal karena lari dari aksi mengupingku hehe. Nyatanya setelah kemarin sore pun jakam itu masih belum membalas pesanku hingga detik ini.
Dari posisi mejaku dan Haechan aku melihat Jaemin dengan langkah tergesanya menembus keramaian kantin menuju meja kami. Kaki langsingnya berusaha ia kendalikan selihai mungkin agar tidak menabrak meja atau kaki-kaki orang lain. Dari jauh aku sudah ikut resah, takut jika gadis itu terjatuh. Bukan apa-apa, sakitnya mungkin tidak seberapa tapi malunya itu loh.
Tanpa disadari oleh Jaemin, dia sudah menjadi pusat perhatian orang-orang didalam kantin. Itu karena Jaemin memanglah cantik. Badan langsing sempurnanya membuatku selalu merasa iri.
Masih belum menyadari pandangan mata yang diam-diam diarahkan padanya, Jaemin masih tergesa berusaha mencapai meja kami dengan bibir yang berusaha mengucapkan sesuatu sebagai isyarat untuku atau Haechan tentunya. Sedangkan kami berdua hanya mengerutkan alis memandang kearahnya tidak mengerti.
"AWAAAAAS!" Teriakku karena Jaemin yang mulai berlari tidak beraturan.
'Duk!'
"Aw sakiit!" Ringis Jaemin memegang lututnya. Wajahnya memerah, bukan karena blush tipis yang sengaja ia sapukan tapi karena rasa malu yang dialaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Memories (End)
Teen FictionSuka cerita ini? you can follow me for more stories♡ Kenangan itu datang ketika aku tidak meminta kehadirannya. *** Aku, Wong Chenle akan menceritakan tentang dia, pria yang tiba-tiba saja hadir disetiap lembaran hari-hariku. Sosoknya seperti noda...