18. Senandika.

195 32 4
                                    

Senandika
─────
Suara batin.

Playlist kamu: The Rose ~ Sorry

•·················•·················•

❛Kutenun harapan, namun Tuhan yang memutuskan.❞

•·················•·················•

Bis berhenti tepat dihalte. Aku berjalan pelan menuju kepintu, sebelum turun aku memberikan sebilah senyum pada seorang petugas koridor bis yang menjaga pintu bis. Ya hampir tiap hari aku melihatnya, jadi kurasa dia hapal dengan wajahku. Petugas koridor bis itu memegang lenganku saat aku harus melompat pada lantai besi halte.

"Makasih kak."

Aku berjalan keluar halte, dan langsung disuguhkan dengan pemandangan ramai keadaan pada tebe, tempat tongkrongan Jisung dan teman-temannya. Sepertinya sebuah perkelahian dan jika tempatnya itu di sana, aku yakin Jisung terlibat atau dialah tokoh utama perkelahian itu terlebih dilihat dari postur tubuh salah satunya aku semakin yakin itu Jisung. Aku ingin tidak peduli dan tetap berjalan santai menuju sekolah. Ayolah ini masih pagi, buat apa mereka membuang tenaga dan membuat masalah sepagi ini. Aku berjalan mendekat tepat ditengah gang untuk memasuki komplek sekolahku.

Aku membuang napasku lelah. Itu benar Jisung, aku melihatnya dengan jelas sampai ke luka pada bibirnya. Baru kemarin aku menasehatinya untuk tidak berkelahi dan sepagi ini sudah disuguhkan adegan thriller itu dengan tokoh utamanya dia sendiri.

Aku marah, tentu saja sangat marah. Kalian berharap aku mendekat dan melerainya? Tidak, aku tidak akan melakukan itu sekarang. Kalau kalian berpikir aku tidak cemas, kalian salah, tentu aku cemas, aku takut, tapi aku juga tidak mau melibatkan diriku disana dan berakhir membuang tenagaku dipagi ini untuk hal kasar seperti itu, belum lagi jika aku terkena pukulan. Jisung sudah besar, dia seharusnya bisa lebih mengontrol dirinya dan berpikir jika semua masalah tidak harus diselesaikan dengan kekerasan. Untuk apa menyakiti tubuh sendiri dan melibatkan diri dalam sebuah perkelahian menyakitkan.

Aku berdiri tegap memandang Jisung dengan tangan terlipat didada. Yap, aku menontonnya berkelahi. Dan aku ingin melihat si jagoan itu akan bertahan sampai kapan. Akankah dia yang menang atau lelaki satunya yang aku kenal sebagai kak Jaehyun, kakak kelas 3 sekelas dengan kak Mark.

Dua orang lelaki lainnya menarik tubuh Jisung untuk berhenti memukuli kak Jaehyun yang sudah tersungkur pada aspal. Aku tetap tidak bergerak mendekati Jisung pun untuk menolong kak Jaehyun, karena disana ada sosok perempuan lain dan beberapa orang lelaki yang menolong kak Jaehyun.

Pandanganku dan Jisung bertemu. Aku menatapnya sinis lalu memutar bola mataku pergi dari sana menuju sekolah.

"CHENLE!" Jisung memanggilku beberapa kali, tapi aku tidak menghiraukannya sama sekali.

"MATI AJA SANA!" Umpatku setengah berteriak. Aku yakin semua orang disana mendengarnya dengan jelas.

Aku tidak menokeh sedikitpun terus berjalan, sampai sebuah tangan menahanku, dan aku melepas kasar tangan itu. "Apaan sih!"  Aku terpaku, tubuhku mendadak kaku. "Eh maaf kak. A, aku kira Jisung." Itu kakak perempuan yang tadi menolong kak Jaehyun, kak Taeyong namanya. Kakak cantik yang disukai hampir semua lelaki. Santer terdengar perempuan itu teman dekat kak Jaehyun, Kak Taeyong juga suka nongkrong di tebe itu sepulang sekolah. Ya aku ambil kesimpulan, kak Taeyong juga merupakan teman Jisung, mungkin malah semua orang yang nongkrong disana adalah temannya.

Midnight Memories (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang