22. Asmaraloka.

187 30 12
                                    

Asmaraloka
────
Alam, cinta kasih

•·················•·················•

Aku menyukai suasana di malam hari, kamu menyukai pagi hari.

Kamu suka ketika matahari menyentuh wajahmu, aku memilih menggunakan topi.

Kamu suka ketika keringat membasahi wajah hingga badan, tapi aku selalu menghindari kegiatan apapun yang akan menghasilkan keringat.

Katamu, berjalan dibawah hujan sangat menyenangkan, aku bahkan berteduh sebelum hujan.

Banyak perbedaan diantara kita, tapi aku tak memintamu untuk merubahnya. Begitupun dirimu yang tidak memintaku untuk mengikutimu. Hubungan ini berjalan begitu saja.

Terkadang aku bertanya, kenapa kita bisa begitu berbeda?

Tapi sampai saat ini kita berjalan begitu sangat baik, dan kita bahkan tidak tahu kenapa?

Kemarin kita saling berteriak satu sama lain lalu setelahnya berlagak seolah tidak terjadi apapun.

Betapa lucunya peri cupid menembakkan panah asmaranya pada kita yang begitu berbeda.

Apakah sebetulnya panah itu meleset? Ataukah kamu yang memohon pada bintang jatuh?

•·················•·················•

Sore itu anak bunda berkedok jakam sekolah datang menjemputku, tentu saja di halte bis. Aku masih tidak berani membawanya kerumah. Jakam itu datang dengan membawa blackfores mini sebagai bahan sogokkan untuk menculikku, agar mau ikut dengannya. Dia bilang ingin mengajakku main tanah untuk mengingat masa kecil. Aku yang sangat menyukai blackforest, tanpa basa-basi langsung menyambar kue itu dan memakannya sendirian. Karena Jisung tidak suka blackforest, pahit menurutnya. Huu cupu. Padahal disitu keseruannya. Kamu bisa merasakan pahit, asam dan manis dalam satu waktu.

Aku menjilat jempolku dan mengusapnya dibaju. Ya aku tau itu jorok. "Serius mau main tanah?" Kataku, memastikan setelah habis kunyahan terakhir.

Jisung mengangguk, jempol tangannya membersihkan ujung bibirku. "Iya, jadi gak usah dandan. Pake masker aja. Banyak debu soalnya." Jisung memberikan masker medis hijau padaku lalu mengajakku ke motor trailanya. Helm dia pasangkan ke kepalaku lalu dia naik ke motornya. Sok romantis, padahal aku bisa sendiri jika hanya memakai helm.

Entah kenapa, bagiku Jisung terlihat sangat serasi menggunakan motor trail, terlihat sama-sama gahar. Ditambah tubuh Jisung yang tinggi dan lumayan berisi. Sejak mengenal Jisung, aku jadi menyukai laki-laki yang mengendarai motor trail dibanding motor matic, vespa, atau motor sport. Pengguna motor trail lebih menggoda, terlihat manly dan keren.

Aku melirik tas besar Jisung yang digendong didepan. "Tapi kok kamu rapih sampai bawa tas besar gitu." Tanyaku saat motor sudah keluar dari area perumahanku. Aku bukan tinggal di kompleks perumahan seperti Jisung. Untuk kalian tahu saja.

"Aku sekalian minggat dari rumah."

"Heh? Kalo ngomong." Aku menggeplak helm monsternya.

"Hahaha aku udah terlanjur izin bunda."

Midnight Memories (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang