Ellipsism
─────
Perasaan sedih yang datang tanpa tau penyebabnya..
•·················•·················•
❛❛Kemarahan tersulit adalah marah pada orang yang kita cintai.❞
⚘•·················•·················•
Aku berjalan pelan menuju ke kelas dengan Jeno yang masih setia menemaniku. Kami tidak bicara hanya berjalan berdampingan. aku sudah mengusirnya tapi dia malah beralasan kelasnya sama denganku dan itu membuatku tidak bisa mengelak lagi dan berakhir membiarkannya saja.
Setelah melewati lapangan, aku melihat Jisung di samping sekolah dekat pohon beringin yang jarang sekali orang-orang berlalu-lalang. Jakam itu tampak ceria setelah apa yang dia lakukan di radio, sama sekali berbanding terbalik denganku. Itu membuatku semakin membencinya. Aku tidak berniat menemui Jisung untuk meminta penjelasan atau pun sekedar bertemu. Katakanlah dia berhasil, ya dia sungguh berhasil memporak porandakan hatiku dengan rasa sakit yang bahkan aku sendiri tidak tahu, kenapa rasa sakit itu menetap dan tidak mau pergi. Aku pikir batas itu sudah aku lampaui, aku sungguhan menyayanginya. Tembok yang aku buat akhirnya hancur juga.
sebenarnya ada rasa senang ketika melihat jakam itu tersenyum, tapi tunggu dulu. Aku menghentikan langkahku, membuat Jeno ikut berhenti.
Hatiku berdebar kencang. Jisung tersenyum pada orang lain. Ya gadis itu, ternyata Jena ada disana. Aku meringis dalam diam. Wajah Jisung begitu cerah setiap kali dengan Jena berbanding terbalik jika itu aku. Senyum mempesonanya tersungging untuk Jena. Dia lah si pencipta senyum sumringah pada wajah Jisung.
Aku tersenyum pahit. Ternyata hanya melihat seseorang yang kamu sayang tersenyum untuk orang lain bisa sesakit ini ah bahkan Jisung menggapku ada saja tidak.
Sepintas, aku mengingat kembali apa yang dikatakan orang-orang mengenai Jisung. Mereka mungkin benar, tidak seharusnya aku menaruh perasaan pada jakam sekolah. Itu sama saja bunuh diri. Aku menahan air mataku yang akan keluar dari kelopaknya.
"Jen, kau kembali saja aku ingin ke toilet sebentar." Ujarku tanpa basa-basi langsung berlari menjauh.
Aku pergi tak tentu arah, mengikuti instingku saja. Aku bahkan tiba-tiba lupa letak toilet dimana.
Tepat di penghujung gedung menuju halaman belakang gedung sekolahku, sebuah tangan kekar menarikku untuk berhenti. Tarikan itu membuatku terjatuh pada lantai.
Kali ini aku benar-benar tidak kuat menahan tangis. Aku meringkuk menyeret tubuhku bersandar pada tembok yang ada. Aku tidak ingin sosok itu melihatku dalam keadaan memalukan seperti ini.
Aku terisak, memeluk lututku
Apa yang harus aku lakukan? Ini memalukan sekali.
"Chenle.." panggil suara berat yang tidak asing itu.
"Jeno!" Teriakku mengangkat wajah, dihadapanku sudah ada sosok Jeno dengan mata iba yang tampak sekali mengasihaniku. Aku tidak suka.
"Kau membuntutiku lagi?"
"Kau berjalan kearah yang salah jika ingin ke toilet. Aku hanya memastikan kau baik."
"Aku... Aku..." Aku mengusap cepat tiap tetesan air mata yang terjatuh. Dengan suara bergetar aku tetap meminta keadilan pada hubungan ini. "Kenapa? Kenapa aku? Kenapa hanya aku yang tidak bisa? Sedangkan dia, bebas?" Bagaimana pun hubungan ini dijalani oleh dua orang, dan sejak awal Jisung lah yang memaksakan hubungan ini terjalin. Aku tidak terima berakhir dengan diriku yang menderita kemalangan. Harusnya dia bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukannya, bukankah laki-laki harusnya begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight Memories (End)
Ficção AdolescenteSuka cerita ini? you can follow me for more stories♡ Kenangan itu datang ketika aku tidak meminta kehadirannya. *** Aku, Wong Chenle akan menceritakan tentang dia, pria yang tiba-tiba saja hadir disetiap lembaran hari-hariku. Sosoknya seperti noda...