Prolog: Factor X

49.5K 3.1K 44
                                    

"Jodoh itu mahal, Len."

Entah bagaimana ekspresiku saat ini, ketika mendengar pernyataan Reza barusan. Rasanya ingin tertawa, tapi aku menahan ekspresiku agar terlihat serius. Hitung-hitung menghargai Reza.

Omong-omong, Reza baru saja memaparkan soal peluang bisnis yang akan dijalaninya.

"Apalagi di kota besar, untuk cewek kayak lo, nyari jodoh itu ribet dan time consuming."

"Jangan bawa-bawa gue."

Di hadapanku, Reza hanya melambaikan tangannya acuh. "Cuma contoh, Len, dan lo contoh yang tepat. Anyway..." Reza mengangkat tangannya, mencegah semua protes yang siap kumuntahkan. "What do you think? From a psychologist perspective."

Oke, saatnya untuk memasang wajah serius.

Reza sangat mendesak ketika mengajakku bertemu. Dia ingin mengobrol soal bisnis yang akan dijajakinya. Sudah setahun terakhir, Reza menggebu-gebu dengan bisnis barunya ini. Tidak seperti biasanya, Reza memilih untuk merahasiakannya. Aku hanya tahu Reza sedang mengembangan bisnis baru, itu juga alasannya memutuskan resign hampir dua tahun yang lalu.

Di balik gayanya yang santai dan happy-go-lucky itu, Reza tidak pernah main-main setiap kali sudah membuat keputusan. Jadi, walaupun aku tidak punya bayangan apa-apa soal bisnis baru ini, aku bisa melihat keseriusan Reza.

Delapan tahun berteman dengannya membuatku mengenal seperti apa Reza.

"Jadi, lo membuat aplikasi pencarian jodoh tapi ada bantuan expert. Prosesnya lebih personal karena si calon akan dibimbing oleh so-called dating coach, sehingga hasilnya akan lebih tepat sasaran?"

Di depanku, Reza mengangguk antusias.

"Kenapa harus pencarian jodoh, udah banyak Za."

Senyum di wajah Reza terkembang lebar. "Pertanyaan yang paling sering gue dapat. Well, memang sudah banyak aplikasi sejenis. Yang sifatnya offline juga udah banyak. Tapi, apa peminatnya berkurang? Yang ada makin nambah." Reza memajukan wajahnya ke arahku, sampai-sampai aku bisa melihat tahi lalat di dekat bola mata sebelah kiri. "Look around you. In this city that big, mencari jodoh secara konvensional itu sebuah privilege yang enggak dimiliki semua orang. Setiap hari sudah sibuk kerja biar bisa terus hidup, energi sudah keburu habis buat hal lain."

"Then?"

"Gue juga enggak bisa memungkiri kalau nyari jodoh secara konvensional itu tetap yang terbaik. Makanya gue bikin ini, menggabungkan cara instan yang online dengan cara-cara konvensional." Reza mengangguk mantap.

"Oke, tapi gue masih enggak setuju dengan pedapat lo yang bilang kalau cinta itu butuh data. Perasaan itu enggak bisa dinilai, Za."

Reza meyakinkanku kalau keunggulan aplikasi miliknya ini berdasarkan kepada data yang mencari kecocokan di antara dua orang, dan yang memiliki nilai tertinggi diyakini sebagai pasangan yang cocok.

"Simple, lo mau pasangan yang cocok, ya lo nyari yang sama dengan lo. Masalahnya, sejauh mana lo paham apa yang lo mau?"

"Selama lo mengenal diri lo, siapa diri lo, lo akan tahu kok pasangan seperti apa yang lo mau."

"Normatif," bantah Reza. "Kenyataannya, sudahlah enggak ada waktu buat nyari jodoh, juga bingung maunya apa. Mungkin saja mereka punya kriteria, tapi apa yakin kriteria itu enggak cuma sebatas keinginan?" tanya Reza.

"Tapi, Za, cinta itu enggak bisa diatur. Contohnya kita. Kurang cocok apa lagi? Kita menyukai banyak hal yang sama, sekaligus juga berbeda, tapi apa kita cocok jadi pasangan? Kan enggak." Aku mengangkat tangan, meminta waktu kepada Reza untuk menyelesaikan ucapanku. "Let's say, dating coach lo sukses. Apa lo yakin kedua pasangan itu benar-benar saling cinta atau hanya menyukai ide memiliki pasangan?"

Reza sudah membuka mulutnya untuk membantah, tapi langsung mengurungkan niat. Keningnya berkerut, untuk sesaat dia sepertinya tengah berpikir keras.

"Lo enggak bisa menutup mata dari kemungkinan adanya faktor X yang kita enggak pernah tahu apa."

Kini, Reza mengangguk-anggukkan kepalanya.

"I appreciate your idea. Gue yakin ada banyak orang di luar sana yang dengan senang hati membayar mahal untuk ikutan. Tapi, lo kurang ada rasa."

Reza menyengir lebar. "Gue lupa kalau lo hopeless romantic."

Sama sepertiku, berteman selama bertahun-tahun juga membuat Reza sangat mengenalku.

"Cinta itu proses. Kenapa enggak lo kasih waktu pada kandidat buat saling mengenal lebih? Ketika mereka keluar dari semua proses itu, mereka benar-benar merasakan cinta. Bukan pas selesai, mereka baru saling kenal dengan sosok yang dipilih," seruku.

"You're right. I'll think about it."

Reza mengetikkan sesuatu di laptopnya. Wajahnya tampak semakin serius, sangat berbeda dengan Reza yang pertama kali bertemu denganku delapan tahun lalu, dengan rambut acak-acakan dan kaus yang super lusuh, sambil mengalungkan handuk dan menumpang mandi karena keran di kamarnya macet.

"Serius, deh, Za. Kenapa lo bikin usaha ini?"

Reza mengangkat wajah, matanya bersinar jenaka saat menatapku. "Karena lo."

"Gue?"

"Lo cocok buat primary target gue, single in late 20s yang fokus kerja sehingga lupa nyari pasangan. Pikiran udah banyak, udah keburu capek flirting ke sana kemari. Ditambah ada banyak orangtua yang mendesak anaknya buat nikah, jadi makin tertekan. Ini pasar yang enggak mungkin disia-siain." Reza menyengir lebar. "Orangtua lo juga, sering ingetin gue buat nyariin jodoh buat lo."

Aku memutar bola mata. Setelah ide menjodohkanku dengan Reza kutolak mentah-mentah, kedua orangtuaku masih belum kapok menyuruhku mencari pasangan.

Dalam hati, aku membenarkan pendapat Reza. Energiku sudah cukup diserap oleh pekerjaan dan tuntutan untuk terus hidup, sampai-sampai sudah tidak ada energi untuk mencari pasangan.

"Well, lo juga."

Reza mengibaskan tangannya. "Gue punya banyak calon, tapi prioritas gue saat ini bukan itu."

Aku mencibir, menanggapi ucapan Reza.

"We'll see, karena menurut gue, lo juga butuh bantuan tenaga ahli buat nyari calon istri."

Stupid CupidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang