Mungkin ini yang dirasakan oleh pasienku sebelum sesi pertama dimulai.
Rasanya canggung untuk berada di sini, apalagi aku tidak tahu seperti apa sosok Dating Master yang akan menemuiku nanti. Dari Irene, aku tahu kalau dia berlatar psikologi dan pastinya legit, karena mereka enggak mungkin mempekerjakan sembarang orang.
Tetap saja itu tidak bisa mengusir rasa cangguhku.
"Sore, apa kabar?"
Aku terlonjak saat mendengar sapaan itu. Saat menoleh, aku berhadapan dengan seorang perempuan berusia sekitar 40-an berwajah lembut. Dia menempati sofa di seberangku.
"Saya Dating Master di sini." Dia mengulurkan tangannya.
Aku menyambut uluran tangan itu. Tentu saja, tidak ada nama asli di sini. "Helen."
Dia tersenyum, menampakkan aura bersahabat yang menenangkan. Aku mengangkat jempol atas pilihan Reza dan Irene.
She seems legit.
Dia membuka tablet dan membacanya, mungkin tengah meneliti review yang kuberikan beberapa hari lalu.
"So Helen, sudah sejauh mana?"
Aku sama sekali tidak menduga akan menerima pertanyaan itu, sehingga mendadak jadi gagu.
Sepertinya dia menyadari kekalutanku.
"Saya sudah membaca review yang kamu kasih. So far semuanya lancar, benar?"
Aku mengangguk. "I think so."
Sudah satu bulan semenjak aku menerima email dari Dating Master. Selama satu bulan itu pula aku membagi waktu antara Leon, Adjie, dan Reza. Namun, aku harus mengakui kalau waktu bersama Adjie jauh lebih banyak.
"Kenapa enggak kamu ceritakan perkembangannya. Kita mulai dari Leon?"
Aku menelan ludah. "Well, he's nice. We have a couple of dates. Tapi, saya merasa biasa saja. Bukan berarti dia enggak berusaha, tapi rasanya ada yang mengganjal. Saya juga sudah berusaha tapi ya gitu."
Perempuan itu menatapku lekat-lekat, tanpa tatapan judgemental. "Maksudmu?"
Terakhir kali aku bersama Leon, aku hampir saja menyerah untuk menelepon Reza. Makan malam itu berjalan lancar, tapi baik aku ataupun Leon sama-sama tidak menutupi keinginan bahwa kami ingin ini semua berakhir.
"Kalian sudah mencoba olahraga bareng?"
Aku mengangguk. Kebetulan aku dan Leon suka lari, jadi Dating Master menyarankan untuk lari bareng. "Couple of nights ago. Nothing special."
"I see," ujarnya sambil menganggukkan kepala.
"Mungkin sebaiknya saya menyerah saja?"
Sekali lagi tatapannya tertuju kepadaku. "It's your call. Posisi saya di sini hanya melihat potensi kecocokan, tapi yang merasakannya kamu. You know what's best for you."
Sejauh ini, aku menyukainya. Aku menyukai caranya yang menyerahkan kembali keputusan besar itu kepadaku. Bukan memaksa, padahal aku yakin dia memiliki target keberhasilan yang ingin diraih.
"Bagaimana dengan Adjie?"
Sulit untuk menahan diri agar tidak tersenyum. "I like him."
Pengakuan itu membuat Dating Master ikut tersenyum. Dari tatapan matanya, dia memintaku untuk melanjutkan cerita.
"Adjie punya jadwal pekerjaan yang sulit dikendalikan, jadi saya maklum kalau enggak bisa sering bertemu. Tapi, komunikasi di antara kami lancar. Kalau dia lama membalas, pasti lagi praktik atau ada operasi. Begitu juga sebaliknya. Kesibukan enggak jadi masalah." Aku bicara panjang lebar.
![](https://img.wattpad.com/cover/267328344-288-k275578.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid Cupid
ChickLitWhen a friendship turns into lover, but the Cupid were wrong!