Bagian terberat ada pada review. Rasanya seperti sedang mengisi form penilaian karyawan di setiap akhir tahun demi menentukan jumlah bonus yang akan diterima tahun depan.
Aku tidak ingin asal isi lagi, seperti yang sudah-sudah.
Senyum refleks terkembang di wajahku saat mengisi bagian Adjie. Dia menyenangkan, sehingga aku tidak perlu memutar otak untuk memberikan penilaian. Berkat Adjie, aku tidak lagi menganggap Stupid Cupid sebagai hal yang konyol.
Kalau bukan karena campur tangan Miss Cupid, aku tidak akan pernah mengenal Adjie. Tidak ada mutual friend di antara kami. Aku juga tidak punya anak atau keponakan yang bisa menjadi pasien Adjie.
Stupid Cupid menyadarkanku satu hal. Dunia itu luas. Ada banyak orang di luar sana. Hanya saja selama ini pergerakan setiap manusia terbatas. Dan juga, tidak selalu ada jembatan penghubung untuk berkenalan dengan seseorang yang sangat jauh.
Sekarang Stupid Cupid menjadi jembatan penghubung itu.
Reza dan tim harus berterima kasih kepadaku atas review ini.
Mengingat Reza, jariku refleks menyentuh pipi, tempat Reza menciumku kemarin. Lagi-lagi, dadaku seperti marching band saking hebohnya.
Buru-buru aku mengusir bayangan itu. It's just a friendly kiss. Bukan sesuatu yang layak dipikirkan, apalagi sampai uring-uringan.
Don't read between the lines, Helen. Tidak semua hal patut dicurigai.
Kadang, aku harus memaksa diriku untuk menerima fakta sebatas fakta. Hitam ya hitam. Tidak perlu berpikir hitam selalu abu-abu. Jadi, aku tidak perlu dibuat pusing oleh ciuman Reza yang memang tidak ada artinya itu.
Aku kembali memusatkan konsentrasi dengan mengisi review soal Adjie. Lebih baik aku memikirkan Adjie saja. Walaupun aku baru bertemu sekali dengannya, dan tidak ada pertukaran nomor telepon karena dilarang, jadi aku tidak punya cara untuk menuntaskan rasa penasaranku.
Tentu saja aku sudah berselancar di dunia maya untuk mencarinya. Namun, sepertinya dia terlalu sibuk di ruang operasi sehingga media sosial itu sangat jarang diperbarui.
Ada banyak pertanyaan untuk Adjie. Seharusnya hal itu bisa membuat otakku sibuk, jadi tidak ada waktu untuk memikirkan Reza.
Namun, sedetik kemudian aku kembali terpikir Reza saat di hadapanku terpampang form penilaian Reza.
Semalaman aku berpikir mengapa Reza menjadi top candidate. Aku mengakui kalau ada banyak kecocokan di antara aku dan Reza. Mungkin Miss Cupid menyadarinya sehingga mengira aku cocok dijodohkan dengan Reza. Padahal, kecocokan itu ada sebagai akibat dari pertemanan yang sudah terjalin delapan tahun ini.
Jika dibandingkan dengan kandidat lain, tentu tidak adil. Aku baru mengenal mereka saat itu, hanya menghabiskan waktu dua tiga jam dengan mengobrol di sela makan. Tentu saja itu tidak sebanding dengan waktu yang kuhabiskan bersama Reza.
Kesimpulan itu mampu membuatku tenang. Aku dan Reza memang cocok, hal itu tidak bisa dipungkiri. Namun, kecocokan itu tidak lantas harus berakhir dengan cinta.
Kecocokan di antara kami hanya sebatas sahabat.
Dengan pemahaman itu, aku bisa memberikan review untuk Reza. Sekaligus mengirim pesan kepada Reza, Irene, siapa pun itu, agar mereka tidak mengizinkan peserta yang sudah kenal untuk ikut, sebab hasilnya bisa bias.
Seperti aku dan Reza.
**
"Pacar lo datang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid Cupid
ChickLitWhen a friendship turns into lover, but the Cupid were wrong!