Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Seminggu kemudian, aku menerima email dari Miss Cupid. Aku sangat senang saat melihat nama Adjie di sana, tapi senyumku langsung redup begitu ada nama Reza.
This can't be true. Walaupun momen kencan dengan Reza berjalan lancar, bukan berarti aku menunggu untuk bisa berkencan lagi dengannya.
Lagipula, aku tidak serius saat mengisi review soal Reza. Aku bahkan lupa apa saja yang kutulis untuknya. Aku mengisi dengan asal karena yakin Reza akan berhenti di tahap itu.
Miss Cupid tidak perlu tahu apa yang aku pikirkan. Jadi, kuputuskan untuk memusatkan perhatian kepada Adjie dan tidak ambil pusing soal Reza.
Aku melanjutkan membaca email itu. Isinya tentang profil lengkap kandidat, termasuk nomor teleponnya. Tidak ada keharusan pihak laki-laki yang memulai, tapi aku hanya ingin menunggu untuk saat ini.
Leon, lawyer lajang berusia 30 tahun. Aku ingat waktu kencan dengannya. He's good, tapi aku merasa biasa saja. Tidak ada spark. Walaupun bersamanya juga tidak membosankan. Namun, tidak ada yang spesial.
Meski begitu, aku tidak menutup kemungkinan. Siapa tahu di pertemuan kedua sparks itu muncul. Aku ingat ucapanku ke Reza minggu lalu, untuk tidak terlalu cepat mengambil keputusan.
Adjie, dokter spesialis bedah anak berusia 35 tahun. Jarak usianya cukup jauh dariku, itu menjadi alasan mengapa dia terlihat begitu dewasa. Tidak banyak yang tertulis soal Adjie, mungkin karena dia introvert, seperti pengakuannya.
Untuk saat ini, aku lebih mementingkan Adjie.
Reza. Ugh, aku tidak perlu membaca profilnya. Apa yang kualami selama delapan tahun ini lebih dari cukup untuk membuatku mengenalnya. Namun, aku penasaran akan apa yang ditulis Reza, jadi kuputuskan untuk membacanya.
Tidak banyak informasi baru. Cara Reza menggambarkan dirinya persis dengan semua tingkahnya saat menjadi temanku. Hanya ... terasa lebih serius. Dan tidak terlihat menyebalkan.
Aku menutup email itu karena sebentar lagi jam praktikku dimulai. Mungkin awalnya aku ogah-ogahan, tapi Stupid Cupid tidak seburuk yang kukira.
**
Ponselku berbunyi, tepat di saat aku baru saja akan menyalakan mesin mobil. Aku mengaduk tas untuk emncari ponsel, sebelum bunyinya yang meraung itu membuatku pusing.
Sederet nomor yang tidak kukenal memenuhi layar ponsel. Hampir saja aku menolaknya karena aku paling malas berurusan dengan nomor asing.
Tapi, bagaimana kalau ini Leon atau Adjie?
Akhirnya, aku memutuskan untuk mengangkatnya.
"Halo," sapaku.
"Halo," balas sebuah suara bariton ayngt erdengar berat di seberang sana. "Benar, ini dengan Helen?"