"Gue udah meeting dengan tim dan membuat beberapa fitur tambahan. You're gonna love it." Reza tertawa lepas di ruang tengah rumahku.
Aku hanya mendengung singkat, sedikit pun tidak mengalihkan tatapan dari layar laptop. Saat ini aku tengah memeriksa jawaban yang kuberikan untuk menjawab curhat yang ditujukan kepadaku.
Ironis memang, sebagai pengasuh rubrik relationship di WomanSite, aku sama sekali minim soal percintaan. Namun, itu bukan masalah besar. Aku mendapat posisi itu karena profesiku sebagai psikolog. Curhatan yang diberikan kepadaku bisa dibedah dari sudut pandang psikologi. Setidaknya gelar di belakang namaku membuatku terlihat lebih legit.
Tentu saja, pekerjaan sampingan ini selalu menjadi olok-olok Reza.
"Len, I'm talking to you."
Dengan malas, aku melirik Reza sekilas. Dia sudah menungguku sejak sore, bahkan sebelum aku pulang dari jadwal praktik sore. Reza bahkan sudah memborbardirku sejak pagi, membuatku pusing setengah mati karena pesannya yang tidak pernah ada habisnya itu.
"Jadi, proses yang akan dijalani calon klien gue lebih detail dan terarah. Gue juga hire psikolog sebagai konsultan, dan ngomong-ngomong itu bukan lo karena lo super sibuk."
Aku tersenyum mendengar ucapan Reza.
"Well, karena gue butuh pendapat orang asing karena lo bisa aja bias. Kita udah temenan lama, jadi pendapat lo bisa sedikit bias."
Aku hanya memutar bola mata mendengar ucapan Reza. Kadang aku sering bertanya, mengapa aku bisa tahan berteman dengannya?
Reza memang bukan temanku satu-satunya. Dia awalnya hanya tetangga di sebelah kamar ketika kami sama-sama ngekos waktu kuliah di Depok. Namun, dari semua teman yang kumiliki, Reza yang paling bisa diandalkan. Dulu ataupun sekarang, aku selalu bisa mengandalkannya. Meski dia kadang nyebelin, aku tahu aku tidak bisa melepaskannya dari hidupku.
"Anyway, gue yakin dengan proses yang sudah matang, usaha ini akan sukses."
"Amin," seruku. Sebagai sahabat, bukankah sudah seharusnya aku mendukung usaha sahabatku sendiri. "So, what's next?"
Reza, yang sejak tadi menguasai sofa sebagai tempatnya berbaring, akhirnya bangkit duduk. Dia sengaja pindah ke dekatku.
"Akan ada proses review, jadi kita akan mengundang beberapa tester sebagai percobaan." Reza merangkulkan lengannya di pundakku. "Maybe in two years, lo bakal melihat nama gue sebagai pengusaha muda paling berpengaruh saat ini."
Kepercayaan diri Reza yang seolah tidak ada batas itu selalu sukses membuatku takjub. Sejak dulu, ketika Reza seringkali sesumbar sehingga terdengar cocky. Namun, dia tidak hanya asal omong. Reza boleh saja punya omong besar, tapi upayanya mewujudkan ucapannya itu juga tidak bisa dipandang sebelah mata.
"Tapi, kok gue masih skeptis, ya?"
Reza refleks melepaskan rangkulannya di pundakku. Dia memutar tubuh dan duduk menyamping, sehingga bisa menatapku dengan jelas. Sepintas lihat, jelas terlihat ekspresi kesal di wajahnya.
"Maksud gue, ide dari dating apps itu sendiri di luar nalar gue," serbuku, mendahului Reza yang sudah membuka mulut untuk melontarkan protes. "Lo tahu, kan, gue enggak pernah tertarik dengan online dating?"
"Yeah right. Lo masih percaya dengan meet cute?" ledeknya. "Kalau Cinderella dibikin hari ini, dia enggak bakalan ninggalin sepatu."
"That's not my point. Buat gue, matchmaking itu terlalu staging."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid Cupid
ChickLitWhen a friendship turns into lover, but the Cupid were wrong!