9. What's in a Name

8.4K 1.7K 56
                                    

Pintu ruanganku dibuka, tepat saat aku akan memulaskan lipstik. Febby, rekan kerjaku, memasuki ruang kerjaku dengan kerutan dalam di keningnya.

"Cantik banget, mau ke mana?"

Aku tidak menjawab karena masih asyik memulas lipstik.

Kerutan di dahi Febby hilang, berganti dengan senyum jail di wajahnya. Dia berdiri di seberang mejaku, sambil bersedekap.

"Mau nge-date sama siapa?"

"Enggak tahu," sahutku sambil menyimpan kembali lipstik itu ke dalam makeup pouch.

"Blind date?" tebak Febby. Dia sudah menempati sofa yang biasanya ditempati pasienku, jelas tidak akan melepaskanku pergi sebelum semua pertanyaannya terjawab.

"Sort of."

Bagiku ini tidak ada bedanya dengan blind date. Aku tidak tahu apa-apa soal pasangan kencanku kali ini, kecuali namanya. Adjie Setiono.

Mata Febby mendelik. "Lo serius?"

Tidak ada yang tahu soal aktivitasku di Stupid Cupid, termasuk Febby, seniorku waktu kuliah yang sekarang juga bekerja di tempat yang sama denganku.

"Gue ikutan aplikasi pencarian jodoh bikinannya Reza. Dipaksa Reza, tepatnya."

Febby mengangkat kedua tangannya. Ekspresinya menunjukkan kebingungan yang sama sekali tidak ditutup-tutupi.

"Wait, pencarian jodoh?"

Sambil mematut bayanganku di cermin, aku mengangguk. "Reza bikin startup gitu, aplikasi pencarian jodoh. Dia maksa gue buat jadi reviewer sebelum mereka launching. Gue mau ketemu kandidat pasangan gue malam ini."

Wajah Febby tidak lagi menunjukkan kebingungan. Malah, senyum lebar terkembang di sana.

"Jangan bilang, lo sibuk setiap Jumat malam selama beberapa minggu terakhir karena kencan ini?"

Aku mengangguk. Saat dihubungi oleh tim Stupid Cupid yang hanya menyebut dirinya Asisten Miss Cupid, aku cukup alot mencari waktu yang tepat. Aku bersikeras hanya bisa di Jumat malam, sehabis jam praktikku. Aku tidak ingin pulang larut malam dan besoknya tidak dalam keadaan fit sepenuhnya saat bertemu pasienku.

Tidak mudah mencari jadwal yang pas. Saat itu aku setuju dengan Reza, mencari jodoh di sela jam pekerjaan itu susahnya setengah mati.

Sampai saat ini, aku sudah bertemu tiga kandidat. Sejauh ini, cukup menyenangkan. Makan malam yang dirancang oleh tim Stupid Cupid cukup mampu membangun suasana. Dengan wine dan lounge music, kencanku tidak berakhir buruk.

Setidaknya, aku tidak perlu menelepon Reza untuk datang berpura-pura sebagai pacarku.

Lagipula, aku tidak tahu apa Reza masih diperbolehkan sebagai SOS-buddy, mengingat dia salah satu yang akan menjadi pasangan kencanku.

Memikirkan hal tersebut membuat perutku kembali melilit.

"So?" desak Febby.

"Not bad, tapi enggak bagus juga."

Febby memberengut, berusaha untuk bersimpati padahal aku tahu itu hanya caranya meledekku. "Gue dan Ron dulu juga dijodohin. We're fine."

Aku mengangguk. Febby termasuk salah satu yang getol ingin menjodohkanku dengan temannya, atau teman Ron, dan yakin akan berhasil karena berkaca pada hubungannya dengan Ron.

"Gue tuh masih heran. Kenapa lo enggak pacaran sama Reza aja, sih?"

"Not anymore," keluhku. Aku mengambil tas, siap angkat kaki sebelum mendengar presentasi Febby soal betapa cocoknya aku dan Reza. "Apa perlu gue bikin pengumuman gede-gede kalau gue enggak mungkin pacaran sama Reza?"

Stupid CupidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang