Tinggal satu pasien lagi sebelum jam praktikku habis. Namun, sepertinya sesi kali ini akan melewati tenggat waktu yang dialokasikan untuk satu sesi. Selalu seperti itu jika sudah memiliki sesi dengan Lola, sehingga aku selalu menempatkan Lola di akhir jam praktik. Kalaupun ada kelebihan waktu, Lola tidak mengganggu jadwal pasien lainnya.
Lola memiliki anxiety yang mendorongnya melakukan self hurting. Dia sampai harus dijauhkan dari semua benda tajam agar tidak melukai dirinya sendiri. Saat pertama bertemu dengannya, Lola baru saja menyilet tangannya, membuat luka baru di atas luka lama yang belum sepenuhnya kering. Butuh waktu untuk membuat Lola membuka diri karena dia menemuiku bukan karena kesadaran sendiri. Setelah orangtuanya berkali-kali membawanya ke UGD setelah self hurting, dokter pun menyadari ada yang salah dengan mentalnya dan merekomendasikan untuk menemui psikolog.
Beruntung saat ini Lola sudah agak membaik, meski keinginan untuk melukai diri sendiri itu masih sering muncul. Butuh proses dan ketekunan untuk mengajak Lola kembali melewati kehidupannya, sehingga akhirnya menemukan apa yang membuatnya memiliki anxiety.
Lola selalu mendapat tekanan dari orangtuanya, tapi orangtuanya tidak pernah merasa menekan Lola. Mereka beranggapan, sudah sewajarnya orangtua memiliki ekspektasi kepada setiap anaknya.
"Bagaimana keadaanmu?"
Lola mengulurkan kedua tangannya. Dia selalu memakai baju lengan panjang untuk menutupi bekas lukanya.
Perlahan, aku menggulung lengan baju itu hingga sebatas siku. Lola membolak balikkan kedua tangannya sehingga aku bisa melihat dengan jelas. Tidak ada bekas luka baru di sana, seperti sesi sebelumnya.
She's getting better.
"Ceritakan soal sekolah. Kamu jadi ikut ekskul apa?"
"Paduan suara." Lola berkata lantang. Lalu, dia pun menceritakan soal kegiatannya di ekskul itu. Sepertinya, kali ini pilihan Lola tepat. Dia begitu bersemangat. Setelah mencoba banyak kegiatan dan semuanya tidak berhasil membuat Lola mengatasi anxiety itu, akhirnya dia berlabuh di tempat yang tepat.
"Bagaimana dengan Si Cemas?"
Setelah sesi-sesi awal, aku membimbing Lola mengenali penyebab anxiety. Kami menyebutnya Si Cemas. Tidak mudah, karena awalnya Lola menutup diri. Baru setelah Lola memahami akan Si Cemas, perlahan dia mulai bisa mengontrol diri.
"Aku sudah bilang ke Mama kalau mau kuliah di Jakarta aja. Mereka masih mempertimbangkan."
Seperti kakak-kakaknya, Lola dipaksa untuk kuliah di luar negeri di jurusan dan universitas yang ditentukan orangtuanya. Akhirnya, Lola berani untuk mengemukakan pendapat dan berdiskusi yang sehat dengan orangtuanya.
Waktu satu jam seringkali berjalan begitu cepat. Aku tidak menghentikan Lola yang masih bercerita, sekalipun jam berkunjungnya sudah selesai. Bagiku, lima belas menit ini mungkin tidak ada artinya, tapi bisa berarti banyak bagi Lola.
"Kamu menunjukkan perkembangan yang baik. Just keep working," ujarku, mengakhiri sesi itu.
Setelah menjelaskan kepada Lola soal tugas yang harus dia penuhi dan memberitahuku hasilnya di pertemuan berikutnya, jam kerjaku secara resmi berakhir.
Aku menurunkan sandaran kursi kerja untuk meluruskan punggung. Menghadapi pasien dengan beragam masalah membuatku lelah. Namun, melihat perkembangan yang mereka alami, meskipun sedikit, membuatku bahagia.
Ponselku bergetar, menandakan ada pesan masuk. Selama praktik, aku tidak pernah mengecek ponsel sehingga selalu menemukan pesan yang jumlahnya menumpuk. Namun, saat ini mataku malah tertuju ke email dari Miss Cupid.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid Cupid
ChickLitWhen a friendship turns into lover, but the Cupid were wrong!