19. Love Before You

8.6K 1.5K 22
                                    

Adjie membujukku agar aku memberinya kesempatan untuk memperbaiki citranya setelah insiden spaghetti gagal beberapa minggu lalu. Sebenarnya itu tidak perlu, karena masakan gagal tidak akan membuat nilainya berkurang di mataku. Namun, aku juga tidak mengelak dari undangan itu.

Minggu siang yang cerah ini, aku mendatangi rumahnya. Adjie tinggal sendiri di daerah BSD. Jarak yang tidak begitu jauh dari rumahku di Bintaro juga menjadi pertimbangan.

Rumahnya menyenangkan. Tidak perlu AC karena ventilasi yang cukup membuat pertukaran udara berjalan lancar. Padahal di luar sangat panas, tapi rumah Adjie terasa adem.

Di bagian samping rumah, ada kolam ikan kecil. Adjie sempat menyinggung sekilas kalau sejak kecil dia sudah menyukai ikan. Ketika memutuskan untuk memiliki hewan peliharaan, Adjie memilih ikan. Alasan lainnya, karena ikan tidak rewel.

Aroma dari arah dapur menggelitik perutku. Aku beranjak dari pinggir kolam dan menuju ke dapur. Aku tidak bisa menahan tawa saat melihat Adjie berada di balik celemek, sibuk dengan spatula dan penggorengan.

"Sepertinya enak."

Adjie melirik sekilas. "Kamu enggak akan menolak masakan Chef Adjie," ujarnya.

"We'll see."

Bukannya beranjak, aku malah bergeming di tempat. Padahal tidak ada yang bisa kulakukan untuk membantu Adjie. Dia juga terang-terangan melarang. Katanya, aku tamu dan tamu tidak seharusnya berada di dapur.

Adjie meletakkan spatula itu sebelum beralih kepadaku. Dia meraih tubuhku dan medorongku hingga terjajar ke kulkas.

"Aku lapar, jangan sampai perhitungan waktumu salah lagi," godaku.

Adjie mengangkat sebelah alisnya. Dia tidak berkata apa-apa, tapi tatapannya terasa begitu menusuk.

Tanganku terangkat untuk menyentuh wajahnya. Rambut-rambut halus yang memenuhi rahangnya terasa menggelitik. Sepertinya esibukan membuatnya lupa waktu, samapi-sampai tidak sempat memperhatikan dirinya sendiri.

"Kamu lagi sibuk banget, ya? Enggak sempat cukuran," ujarku.

"Lumayan. Ada pasien baru yang cukup menyita perhatian."

"How did you do that?"

Dahi Adjie berkerut, membuat kedua alisnya bertaut di tengah. "Maksudmu?"

Aku pernah ingin menjadi dokter, bagiku dokter itu sangat hebat. Namun, cita-cita itu pupus ketika nenekku dirawat setelah jadi korban tabrak lari di dekat rumah. Di saat semua orang meraung-raung, dokter mash terlihat tenang. Sampai sekarag, aku tidak habis pikir bagaimana cara mereka mengendalikan diri sehingga tetap tenang di tengah kekalutan masif seperti itu.

"Apalagi pasienmu anak-anak. Pasti menyakitkan melihat anak-anak yang sharusnya bebas main, malah sakit," ujarku.

"That's the reason. Karena mereka seharusnya bermain, bukan berada di rumah sakit," sahut Adjie.

Kini, giliran dahiku yang berkerut, menuntut penjelasan lebih.

"Aku selalu meyakinkan diri untuk melakukan yang terbaik agar mereka sembuh, jadi mereka bisa bermain lagi. Itu yang membuatku bisa tenang dan berpikir jernih." Adjie berkata pelan, tapi aku bisa menangkap ketegasan di balik ucapannya.

Aku bisa mengerti sekarang. Hal itu memberikan nilai tambah akan dirinya di mayaku.

Adjie melepaskanku dan kembali beralih ke masakannya. Hal itu aku manfaatkan untuk memperhatikannya. Adjie tidak hanya tampan, dan memiliki pekerjaan tetap yang menjanjikan keamanan di masa depan. Bukan hal itu yang membuatku tertarik kepadanya. Caranya membawa diri, kepercayaan dirinya, dan bagaimana dia memperlakukanku, semuanya terjalin dengan sangat pas dan memberikan kenyamanan kepadaku.

Stupid CupidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang