8. Second Chance

8.9K 1.7K 56
                                    

"Ini sebuah kehormatan untuk saya."

Aku menunduk malu, dalam hati sibuk mengutuk kenekatanku barusan. Mengapa aku memberi kesempatan kedua untuk Derek Shepherd? Aku tidak tahu.

Sepertinya aku harus mengingat kembali alasan yang masuk akal. Impulsif tidak pernah terjadi sebelumnya dalam hidup seorang Helena.

"Semoga kamu enggak keberatan."

Pria di hadapanku tertawa, sebuah tawa renyah yang terdengar bersahabat. Dari tawanya, aku bisa menebak dia sosok yang menyenangkan.

Untuk sementara, aku akan memanggilnya Derek, meski nama itu terdengar asing saat meluncur keluar dari mulutku.

Speed dating sudah selesai. Namun, ada kesempatan kedua untuk pasangan yang ingin dikenal lebih jauh. Tidak semua peserta perempuan memutuskan untuk mengambil kesempatan kedua ini, aku salah satunya.

"Tentu saja. Akan sangat menyenangkan jika bisa mengenalmu lebih jauh. Mungkin bisa dimulai dari nama?"

Aku tertawa pelan. "Saya rasa itu melanggar aturan."

"You're right."

Aku mengatupkan bibir, berusaha mencari bahan obrolan. Aku yang meminta kesempatan ini, tapi sekarang justru aku sendiri yang bertingkah konyol karena malah diam.

"Salah satu pasien saya memberikan ini." Pria itu merogoh ke kantong kemeja di balik jas yang dipakainya. Kemudian, dia mengulurkan telapak tangannya. Di atasnya, ada sebuah lucky charm dari benang yang dipelintir dan ada kancing baju di tengahnya sebagai bandul. "Katanya, semoga saya menemukan perempuan yang tepat."

"It's so cute. Kenapa dia kepikiran ngasih ini?" Aku mengulurkan tangan, meminta izin untuk memegang lucky charm itu.

"Saya sudah merawatnya sejak dia berumur tiga tahun, jadi kami sangat dekat. Saya sering cerita, dengan imbalan dia mau minum obat. Sepertinya lucky charm ini mulai bekerja."

Demi Tuhan, jangan sampai pipiku memerah saat ini.

"Kamu spesialis apa?" tanyaku sambil mengembalikan benda itu kepadanya.

"Bedah anak," jawabnya.

Sosoknya yang hangat itu sangat cocok dengan bidang yang ditekuninya. Aku bisa membayangkan dirinya di tengah bangsal anak, memberi harapan kepada anak-anak yang sedang berjuang melawan penyakitnya.

"Mungkin, pasienmu juga menitipkan sesuatu?"

Aku kembali tergelak, kali ini sambil menggelengkan kepala. "Mereka menitipkan banyak hal sebenarnya. Mereka membutuhkan saya, tapi mereka enggak sadar kalau saya juga membutuhkan mereka."

"Maksudmu?" tanyanya, sambil menatapku lekat-lekat penuh rasa ingin tahu.

"It's not that easy to open up your heart, sekalipun di hadapan tenaga profesional. Gimanapun, saya tetap orang asing. Mungkin awalnya sebuah keharusan, tapi untuk sampai ke titik itu, pasti enggak mudah. Karena itu, saya sangat menghargai setiap pasien," jawabku.

Tatapannya tidak beranjak sedikitpun, masih tertuju tepat di bola mataku. Melihatnya yang terdiam, aku pun kembali buka suara.

"They're willing to share, dan ternyata saya membutuhkan itu."

"Kalau kamu menampung masalah pasienmu, siapa yang menampung masalahmu?"

Hanya satu nama yang terlintas di benakku saat mendengar pertanyaan itu.

"Sahabat saya. Malah sebenarnya, saya ada di sini karena dipaksa."

"Sahabat yang baik, mungkin saya harus berterima kasih kepadanya? Karena saya bisa bertemu kamu di sini."

Stupid CupidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang