29. Indecisive

8K 1.4K 56
                                    

"Iya, ntar aku usahain."

Dari sudut mata, aku melirik Adjie yang saat ini berada di ruang tengah. Dia tengah memencet-mencet remote, sepertinya mencari saluran televisi dengan tayangan yang menarik.

Sementara itu, aku sengaja beranjak ke dekat jendela untuk mengangkat telepon dari Mama. Rasaya masih asing aja harus mengobrol dengan Mama di hadapan Adjie.

"Aku udah kasih tahu Mbak Sel buat kirimin obat Papa."

Di seberang sana, Mama masih saja mengeluh soal obat Papa yang tak kunjung datang. Seharusnya ini tanggung jawab kakakku, tapi dia selalu lupa.

Hubunganku dengan Selena, kakakku, tidak pernah akur. Sejak kecil, kami lebih mirip anjing dan kucing. Bagi Mbak Sel, aku tidak bisa dipercaya, apalagi diandalkan untuk tanggung jawab besar sehingga dia mengambil alih semua tanggung jawab. Sementara menurutku Mbak Sel terlalu controlling dan rasa tidak percayanya itu sangat tidak beralasan. Hasilnya, dia sering kelabakan. Namun, bukannya introspeksi diri, dia selalu mencari kambing hitam.

Sekarang dia menjadikanku sebagai kambing hitam begitu Mama menanyakan soal obat Papa. Makanya mama menelepeonku. Padahal aku sudah mengingatkan kakakku yang sok diva itu, tapi seperti biasa, dia selalu menganggap enteng semua perkataanku.

"Makanya Mama bilangin ke Mbak Sel, kalau enggak sempat ya kan bisa minta ke aku."

"Kamu, kan, di Jakarta juga. Kenapa enggak disamperin? Rumah kalian dekat."

Aku memutar bola mata mendengar usul itu. Not in a million years aku mengijakkan kaki di rumahnya, sementara Mbak Sel juga terlalu gengsi untuk menghampiriku ke sini.

Dulu, dia juga tinggal di sini. Sebelum Papa pensiun dan mereka pindah ke Surabaya. Aku tahu, tidak mungkin hanya tinggal berdua saja dengan Mbak Sel di sini. Bisa-bisa rumah ini hancur. Aku sudah beriat untuk pindah, Mbak Sel juga. Namun, dia keburu menikah dan angkat kaki duluan sehingga aku memiliki tanggung jawab penuh terhadap rumah ini.

Kata orang, ketika beranjak dewasa, hubungan saudara yang renggang waktu kecil akan membaik dengan sendirinya. Hal itu tidak terbukti untukku. Aku dan kakakku masih saling menatap dengan tatapan saling ingin membunuh.

Mama masih mencerocos di seberang sana, sementara telingaku mulai panas. Sampai detik ini, mama merasa hubungaku dan Mbak Sel masih bisa diperbaiki. Padahal, baik aku ataupun Mbak Sel sudah menyerah sejak lama.

"Iya, nanti aku kirimin." Aku memotong ucapan Mama yang semakin melantur. "Mama tenang aja."

Setelah kembali membujukku untuk menghubungi Mbak Sel, dan kuiakan dengan setengah hati, telepon itu akhirnya diputus juga.

"Ada masalah?" tanya Adjie, ketika aku kembali ke sofa yang didudukinya.

Aku menggeleng, tapi wajahku yang ditekuk malah mengatakan hal sebaliknya. Dia pasti mendengar nada suaraku yang meninggi saat bicara di telepon barusan.

Adjie menatapku dengan mata menelisik, tapi tidak bicara apa-apa. Ini caranya memintaku bercerita, tanpa harus terdengar terlalu mendesak.

"Barusan itu, Mama. Kakakku lupa ngirimin obatnya Papa." Aku akhirnya membuka suara. Ini kali pertama aku bercerita soal keluargaku di depan Adjie.

Bukannya ingin menutup-nutupi, tapi selama ini belum ada momen yang pas. Aku tidak mungkin tiba-tiba mengungkit soal mereka tanpa alasan yang jelas.

"Harusnya itu kerjaannya kakakku, tapi dia lupa."

"Obat apa?"

"Rematik."

"Terus, gimana?"

Aku menghela napas panjang. "Besok aku beli, deh. Daripada mendesak Mbak Sel, yang ada malah aku yang disewotin."

Stupid CupidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang