"Kamu lagi nunggu telepon?"
Aku gelagapan saat mendengar pertanyaan Adjie. Refleks aku menyembunyikan ponsel dan tersenyum. "Cuma nunggu kabar dari Reza."
Pagi tadi, Reza mengabarkan kondisinya sudah mulai membaik. Aku ada janji interview pagi ini sehingga tidak bisa mengeceknya. Sekalipun Reza memberikan bukti berupa foto agar aku percaya kalau dia baik-baik saja, tetap saja aku masih mengkhawatirkannya.
"Dia lagi sakit, jadi aku mengecek kabarnya." Aku melanjutkan, ketika Adjie tidak memberikan komentar.
"Parah?"
"Demam, cuma katanya sudah agak mendingan," sahutku.
"Kamu mau aku mengeceknya?"
Refleks senyumku terkembang lebar saat mendengar penawaaran itu. "Thanks, tapi katanya dia sudah mendingan."
Adjie ikut tersenyum, tapi aku merasa ada yang disembunyikannya. Sesuatu yang membuatnya jadi gundah.
Aku teringat Lauren dan kecemburuan yang dirasakannya terkait hubunganku dan Reza. Mungkinkah Adjie mengalami perasaan yang sama?
"Kamu enggak cemburu, kan?" tembakku.
Di luar dugaan, Adjie malah terkekeh. "Apa aku punya hak atau alasan untuk cemburu?"
Aku menggeleng, merasa yakin denga jawaban itu. Tidak ada alasan untuk cemburu. Lauren aja yang kekanak-kanakan.
"Kecuali kalau memang ada yang bisa membuatku cemburu. Kalian hanya teman, sebatas itu, kan?" tanya Adjie.
Aku meneguk ludah, merasa tercekat saat mendengar pertanyaan itu. Perlahan, aku memaksakan diri untuk mengangguk.
Hubunganku dan Reza hanya sebatas teman, itu saja.
Namun, teman tidak seharusnya ciuman.
Aku mengutuk diriku sendiri ketika pemahaman itu memaksa masuk ke dalam benakku.
"Sudah berapa lama kalian berteman?" tanya Adjie.
"Delapan tahunan. Dulu dia tetanggaku waktu ngekos di Depok," sahutku.
"Selama itu, dan kamu enggak pernah sekalipun naksir dia?" Adjie tertawa lebar, mungkin itu caranya untuk meyakinkanku kalau pertanyaan itu hanya sekadar candaan.
"Sulit banget, ya, buat percya lawan jenis bisa temenan?" Alih-alih menjawab, aku malah balik bertanya. "Aku mengasuh rubrik curhat di website remaja, dan itu pertanyaan paling sering yang kuterima. Sampai-sampai aku sudah kehabisan jawaban."
"Apa jawabanmu?"
"Kemungkinan saling naksir ada, tapi pure temanan juga ada. Jangan dipukul rata kalau pertemanan lawan jenis itu sesuatu yang mustahil," timpalku.
"What about you?"
Aku sudah membuka mulut untuk menjawab, tapi kemudian urung. Selama beberapa saat, aku meneliti wjah Adjie untuk menilai tanggapannya, sebelum aku memberikan jawaban.
Sebuah tawa tipsi meluncur keluar dari bibirku.
"Kalau cuma naksir-naksir lucu, sih, ada. Dulu banget, waktu baru kenal. Tapi, cuma sampai di situ karena aku tahu Reza lebih cocok sebagai teman," jawabku.
"Naksir-naksir lucu?"
Aku tergelak. "Kamu tahulah, maksudnya."
Adjie berusaha untuk tersenyum, tapi raut wajahnya memberikan arti lain.
"Jadi, cuma naksir-naksir lucu. Sekarang sudah enggak?"
Aku bisa saja mengiakan ucapannya, tapi aku sendiri bisa menangkap kebohongan itu. Karena kenyataannya, aku tidak mengerti dengan perasaanku saat ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/267328344-288-k275578.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid Cupid
ChickLitWhen a friendship turns into lover, but the Cupid were wrong!