Aku sudah berubah jadi zombie.
Selama berhari-hari ini jadi kesulitan tidur. Setiap kali memejamkan mata, otakku dengan kurang ajarnya malah memutar ulang ciumanku dan Reza dengan sangat detail. Aku jadi tidak berani menutup mata walaupun tubuh lelahku meronta minta diistirahatkan.
"Lo begadang lagi?"
Aku mengangguk singkat menanggapi pertanyaan Febby. Semalam, aku memaksakan diri untuk terus tertidur, tapi sulit karena lagi-lagi aku terbangun dengan napas terengah-engah yang disebabkan oleh mimpi yang sama.
"Hati-hati nyetirnya," ujar Febby, sebelum berbelok menuju mobilnya.
Malam ini, aku harus berjuang dengan mimpi yang sama lagi.
Aku baru akan menyalakan mesin mobil ketika ponselku berdering. Ada nama Reza di layarnya, dan seketika tubuhku menegang.
Sudah tiga hari sejak aku mengakhiri ciuman itu dengan kalut dan mengusir Reza dari rumahku. Reza meminta waktu untuk menjelaskan, tapi aku terlalu takut untuk mendengar penjelasan dalam bentuk apa pun, karena itu hanya akan semakin membenarkan ketakutanku yang sudah terwujud.
Selama tiga hari ini pula aku menahan diri untuk tidak menghubungi Reza. Sepertinya Reza menyadari keenggananku, sehingga dia juga tidak menghubungiku. Bahkan sekadar mengirim pesan asal atau meme random pun tidak dilakukannya.
Aku membiarkan panggilan itu berkhir. Namun, baru saja menarik napas lega, ponselku kembali berdering.
Reza lagi.
There's no other way. Aku menarik napas panjang sebelum menerima panggilan telepon itu.
"Ya, Za?"
Suaraku terdengar tercekat dan dadaku berdebar hebat. Sejak kapan aku jadi deg-degan setengah mati seperti ini saat bicara dengan Reza?
Just keep it short, tegasku dalam hati. Cukup dengarkan Reza dan segera akhiri sambungan telepon ini.
Seharusnya sejak awal aku tidak melakukan ide konyol itu. Bahkan sekarang saja aku dan Reza jadi berjarak.
Aku takut kehilanganya, dan sepertinya ketakutan itu akan segera terwujud.
"Len, bisa ke sini?"
Suara Reza terdengar lemah. Mendadak rasa khawatir menguasaiku, dan sejenak aku lupa dengan kekalutan yang tadi kurasakan.
"Lo sakit?" tanyaku.
"Lagi enggak enak badan aja."
"Gue ke sana. Kasih tahu resepsionis lo," ujarku.
Tanpa menunggu tanggapan Reza, aku langsung menyalakan mobil.
Beberapa tahun lalu, aku pernah mengendarai mobil dalam keadaan panik dengan Reza yang tak henti-hentinya mengeluhkan perutnya yang sakit. Sore ini, aku kembali dilanda kepanikan yang sama.
Reza tinggal sendiri, dan selama ini dia terbiasa menghubungiku jika merasa ada yang salah dengan dirinya. Namun, itu sangat jarang. Reza sering menggampangkan kondisinya. Hanya sakit ringan, itu selalu yang menjadi alasannya.
Jika Reza sudah menghubungiku, itu artinya dia sudah putus asa. Bukan lagi flu ringan atau demam biasa, seperti yang selama ini diucapkannya.
Aku memarkir mobil di apartemen Reza, dan langsung berlari menuju tower tempat unitnya berada. Reza sudah memberitahu resepsionis yang membantuku naik ke lantai delapan. Begitu keluar dari lift, aku kembali berlari melintasi lorong yang panjang dan kosong itu.
Reza pernah memberitahu soal kode apartemennya. Aku tidak menyangka akan menggunakan kode itu di saat darurat seperti ini.
Apartemen Reza dalam keadaan gelap. Gorden yang tertutup menyadarkanku kalau dia sudah menahan sakit seharian ini, tapi baru menghubungiku saat menjelang malam seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid Cupid
ChickLitWhen a friendship turns into lover, but the Cupid were wrong!