Hari pertama selalu menyakitkan. Seperti bulan-bulan sebelumnya, aku selalu mengambil cuti karena tidak bisa melawan nyeri yang selalu datang setiap kali menstruasi. Sebagai gantinya, aku bisa meringkuk sepuasnya di kasurku.
Dering telepon terasa memekakkan telinga. Semakin membuatku merasa nyeri saja.
Aku beringsut mendekati nakas, karena untuk mengangkat tubuh saja aku tidak sanggup.
"Halo," sapaku dengan nada lemah.
"Len, I have good news." Berbanding terbalik denganku, suara di seberang sana terdengar sangat riang. Tidak perlu bertanya untuk tahu kalau itu Reza.
"Apa?" tanyaku, masih dengan nada lemah yang sama. Aku sudah kembali meringkuk dan sengaja menekan perut, sekadar mengatasi sakit.
"Lo sakit?" Bukannya menjawab, Reza malah balik bertanya.
"Biasa," sahutku.
"Gue ke sana, ya."
Belum sempat menjawab, Reza sudah memutus sambungan telepon itu. Aku tidak ambil pusing, dan kembali meringkuk untuk melawan siksaan bulanan ini.
Reza sudah akrab dengan momen ini, sejak kuliah dulu. Awalnya, dia tidak mengerti mengapa aku begitu kesulitan mengangkat tubuh dari tempat tidur. Lama-lama dia tidak lagi bertanya, tapi cukup memaklumi keadaanku. Setidaknya, dalam sebulan, minimal ada satu hari Reza berhenti bertingkah menyebalkan.
Aku masih dalam posisi yang sama ketika ponselku kembali berbunyi, satu jam kemudian. Reza lagi yang meneleponku.
"Gue udah di depan, bisa bukain pintu enggak?"
"Gue coba," sahutku pelan.
Dengan susah payah, aku memaksakan diri untuk bangun. Butuh waktu lama untuk bisa berdiri. Aku mengumpat pelan saat perutku kembali bergejolak saat dibawa berjalan. Dengan bantuan dinding sebagai tumpuan, akhirnya aku sampai di pintu. Jarak yang dekat jadi memakan waktu lama dalam keadaan seperti ini.
"Gue bikinin smoothies ya, kayak biasa," ujar Reza, begitu aku membukakan pintu.
Aku hanya mengangguk tanpa suara.
Reza membantuku kembali ke kamar, dan baru beranjak ketika aku sudah berbaring.
Sayup-sayup, aku mendengar bunyi blender dari arah dapur. Berteman sekian lama, Reza juga mengerti apa yang aku butuhkan di saat seperti ini. Dia selalu membuatkanku smoothies pisang dicampur bayam dan yoghurt untuk meredakan nyeri.
Awalnya, aku selalu membuatnya sendiri. Waktu itu Reza tengah menemuiku, dan dia memperhatikanku saat membuatnya. Alasannya, 'biar gue tahu cara bikinnya kalau lo butuh.'
Saat itu, aku sangat berterima kasih kepadanya.
Perlahan, Reza mendudukkan tubuhnya di pinggir tempat tidur. Dia meletakkan smoothies itu di nakas, sebelum membantuku duduk.
"Thanks," ujarku saat menerimanya.
Sejujurnya aku kurang menyukai smoothies ini, tapi tidak ada pilihan lain. Lebih baik meminumnya daripada berkutat dengan rasa sakit.
"Tadi lo mau bilang apa?" tanyaku, begitu smoothies itu sudah berpindah ke perutku.
"Nanti aja. Mending lo istirahat. Cuti, kan?"
Aku mengangguk pelan.
Reza kembali membantuku hingga berbaring dengan nyaman, dan menyelimutiku. Di balik selimut, aku meringkuk dan menekan perut.
Aku tidak tahu berapa lama Reza menemaniku karena perlahan-lahan, aku dikuasai kantuk.
**
![](https://img.wattpad.com/cover/267328344-288-k275578.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid Cupid
ChickLitWhen a friendship turns into lover, but the Cupid were wrong!