"Helen, sudah lama?"
Aku menutup buku yang kubaca saat suara Adjie menyapa pendengaranku. Saat mengangkat wajah, aku bersitatap dengan Adjie. Dia terlihat kusut, dan sangat lelah.
"Lumayan. Ada operasi?"
Adjie mengangguk. Dia mengambil tempat di sampingku. "Baru selesai, sedikit lebih lama dibanding yang diperkirakan. Kamu enggak ada praktik?"
"Hari ini cuma ada praktik pagi dan ada interview dengan majalah. Sisanya kosong."
"And now you're here," ujar Adjie. Tangannya terulur dan menggenggam tanganku yang terkepal di atas paha.
Perlahan, aku membuka kepalan itu dan menyambut genggaman tangan Adjie.
"Tadinya mau pulang, begitu lihat rumah sakit ini jadi kepikiran buat mampir. Enggak ganggu, kan?"
Adjie menggeleng. "Aku cuma enggak enak harus meminta kamu menunggu lagi. Masih ada yang harus aku urus."
"It's okay. Aku bisa tunggu di sini?"
Adjie melepaskan tangannya yang menggenggamku. Sebagai gantinya, dia membuka tangannya, memperlihatkan telapak tangannya.
"Aku butuh jaminan biar yakin kamu enggak akan meninggalkanku."
Tingkahnya membuatku tertawa. Alih-alih mengambil sesuatu dari dalam tas, aku malah beringsut mendekat dan mengecup pipinya. "Done."
"Jaminan yang bagus." Adjie hanya tersenyum simpul. Dia bangkit berdiri, tapi tidak segera beranjak. "Aku janji cuma sebentar."
Setelah meyakinkan dirinya dengan anggukan, Adjie akhirnya pergi.
Kedatanganku ke sini sangat tiba-tiba. Ketika melewati rumah sakit ini, aku teringat Adjie. Aku memutuskan untuk menghampirinya. Adjie tidak membalas pesanku sehingga aku pun menunggunya.
Entah apa tujuanku datang ke sini. Yang aku tahu, aku butuh Adjie.
Aku tahu ini tindakan yang salah. Aku hanya ingin menenangkan pikiran dan melupakan ucapan Reza kemarin, tapi aku tidak bisa melakukannya sendiri. Tidak seharusnya aku menjadikan Adjie sebagai pengalihan, tapi aku tidak punya cara lain yang lebih masuk akal dibanding ini.
Berkali-kali aku meyakinkan diriku sendiri bahwa hubunganku dan Reza hanya sebatas teman, tidak lebih.
Karena itu, aku butuh Adjie.
"Helen?"
Sebuah sentuhan di pundak mengagetkanku. Sepertinya aku terlalu larut dalam lamunan sampai-sampai tidak menyadari kehadiran Adjie.
"Ngelamun?" tebaknya.
Aku menggeleng, dan menyibukkan diri dengan mengemasi tas. "Aku cuma lapar," ujarku, tidak sepenuhnya berbohong.
"Mau dimasakin sesuatu?"
Refleks tawaku terlontar saat mendengar penawaran itu. Aku memukul lengannya pelan sebelum membiarkan Adjie menggenggam tanganku dan membawaku beranjak.
"Bukan ide bagus. Kita makan di luar saja."
"You hurt me. Aku pengin memperbaiki citra di depanmu," bantah Adjie.
"Lain kali saja, sekarang aku benar-benar lapar dan enggak mau memakan masakan gagal," timpalku.
Di sampingku, Adjie tertawa kecil. "Kamu tahu kenapa spaghetti itu gagal?"
"Perhitungan waktumu salah," tebakku.
Adjie berhenti di depan mobilku yang terparkir. "Well, itu karena kamu membuatku kesulitan mengendalikan diri," bisik Adjie.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid Cupid
Chick-LitWhen a friendship turns into lover, but the Cupid were wrong!