Aku benar-benar merasa konyol.
Setelah berusaha mengulur waktu dengan berdiam di mobil yang terparkir, aku akhirnya memberanikan diri. Terlebih, sejak tadi ponselku tidak hentinya meraung. Telepon dari Reza. Aku tidak mengangkatnya karena sudah tahu tujuannya. Acara akan segera dimulai, sementara aku belum muncul.
Tahu tidak bisa mundur, akhirnya aku keluar dari mobil. Berbalut jumpsuit putih agar sesuai dengan dress code yang ditetapkan, aku memasuki restoran tempat acara ini berlangsung.
"Atas nama siapa?" tanya petugas registrasi.
"Helen."
Perempuan berambut hitam sebahu itu mengecek di tabletnya. Dia menggelengkan kepala dengan kening berkerut.
"Enggak ada yang namanya Helen di sini."
Ucapannya membuatku tertegun. Aku yakin ini tempatnya. Lagipula, dari dekorasi restoran ini, aku yakin tidak salah tempat. Jelas-jelas ada backdrop dengan logo Stupid Cupid di dekat meja registrasi.
Perempuan itu menatapku, membuatku jadi merasa risih. Beruntung Irene menghampiriku. Mungkin dia bisa mencium kebingunganku dari jauh.
"Ada masalah?" tanyanya.
"Enggak ada nama gue di daftar," jawabku.
Perempuan berambut sebahu itu menyerahkan tablet kepada Irene. Tidak butuh waktu lama bagi Irene untuk menemukan kekeliruan.
"Nama lo Lily, bukan Helen." Irene terkekeh. Dia stiker bertuliskan Lily kepadaku. "Ditempel di dada kiri."
Kali ini, aku benar-benar merasa konyol.
Irene mengajakku ke sebuah meja bulat yang hanya diisi dua kursi. Ada nama Lily di meja itu. Sepertinya aku harus mengingatkan diriku sendiri soal nama Lily ini.
"Lo pesan minum aja. All covered, kok. Enjoy."
Sepertinya aku butuh sesuatu untuk menenangkan diri. Aku pun memesan segelas wine sebagai teman menunggu.
"Gimana?" tanya Reza, yang tiba-tiba saja muncul di depanku.
Butuh waktu untuk mengenali Reza karena penampilannya sangat berbeda. Reza tidak pernah serapi ini. Dia selalu mengandalkan pakaian kasual, dan butuh momen tertentu agar Reza mau dress up seperti ini. Melihat Reza dalam balutan jas hitam cukup membuatku pangling.
"Rapi banget," ledekku.
"Look around you. Masa gue mau ikut perang bermodalkan kaus doang."
Aku menatap sekeliling. Beruntung aku memilih jumpsuit putih ini, sehingga penampilanku bisa berbaur dengan semua undangan yang datang. Jika aku memakai pakaian kebesaranku, bisa dipastikan aku akan sangat mencolok di tengah manusia berpakaian rapi dan stylish ini.
"Lo niat juga, ya, bikin acaranya." Aku mengangkat gelas wine milikku. "Modal juga lo."
"Harus total, dong, Len. Hitung-hitung promosi. Target kita mostly A or B+, jadi ya harus kayak gini. Mereka sudah bayar mahal, jadi harus dipastiin servis yang diterima juga sekelas."
Hampir saja aku tersedak wine yang kuminum.
"Gue harus bayar?"
"Lo, kan, temannya bos. Jadi gratis." Reza tergelak. "Lo bisa minta pricelist ke Irene, mungkin teman lo ada yang potensial jadi klien gue."
Dengan tawanya yang masih terdengar, Reza meninggalkanku untuk bergabung di sisi yang ditempati peserta pria.
Seperti yang pernah dibilang Reza beberapa waktu lalu, mencari jodoh itu mahal. Dari segi uang, juga waktu. Terlebih di kota besar seperti Jakarta. Jika dengan membayar bisa mengurangi waktu dan energi yang dibutuhkan untuk mencari pasangan, aku yakin banyak yang bersedia membayar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stupid Cupid
ChickLitWhen a friendship turns into lover, but the Cupid were wrong!