11. Real Date

9.3K 1.8K 37
                                        

Kami berakhir di toko buku di daerah Gunawarman indie yang berada di dalam sebuah galeri dan cafe, tidak jauh dari restoran tempat first date yang berakhir gagal. Aku tidak bisa menahan tawa saat Reza memarkir mobilnya.

"Ini baru kencan versi gue," ujarku sambil membuka seatbelt.

Aku suka buku. Bagiku, berada di toko buku itu sangat menyenangkan. Mencium aroma buku baru dan menjelajah rak demi rak untuk menemukan buku yang bisa menggugah hati menjadi sebuah terapi untukku.

Berkencan di toko buku juga menempati daftar teratas keinginanku. Aku percaya, karakter seseorang bisa dilihat dari bacaannya. Karena itu, kencan di toko buku bisa memberikan perspektif baru untukku saat mengenal calon pasanganku.

Ngomong-ngomong, aku tidak pernah ke toko buku bareng Reza. Aku bahkan tidak tahu buku favoritnya. Tebakanku, dia bukan tipe orang yang suka membaca.

Aku tersadar bahwa ternyata masih ada sisi Reza yang belum kuketahui.

Reza sudah melepaskan jas sehingga hanya mengenakan kemeja abu-abu pas badan yang lengannya digulung hingga siku.

"Pick your book," ujarku.

Reza bersedekap di hadapanku. "Buat apa?"

Aku mengangkat bahu. Dengan isyarat mata, aku meminta Reza untuk memilih buku.

Meski dengan dahi berkerut, Reza akhirnya menuju deretan rak buku. Aku berjalan pelan di belakangnya, berusaha mengintip buku yang dipilihnya.

Reza menyodorkan sebuah buku ke hadapanku. Aku cukup terkejut saat melihat pilihannya.

"Lo enggak kayak tipe orang yang baca John Steinback," ujakru.

"Don't judge a book by it's cover," gerutunya.

Aku menatapnya dengan mata menyipit. Sudah selama ini aku mengenal Reza, wajar jika aku curiga atas pilihannya.

Seakan bisa membaca kecurigaanku, Reza mengeluarkan ponselnya. Dia menunjukkan buku yang tersimpan di dalam daftar bacaannya. Aku tidak lagi bisa menahan keterkejutan saat melihat deretan buku klasik tersimpan di sana.

"Jadi, gue udah punya tampang baca John Steinback belum?" tudingnya.

Aku mengangguk, mengakui kesalahanku.

"Jadi, gue udah pilih. Tujuannya?"

"Gue percaaya kalau pilihan kita itu dipengaruhi oleh karakter. Bukan sebaliknya, kayak yang banyak dibahas. I mean, penyuka tantangan akan membaca buku horor, bukan penyuka horor lalu jadi menyukai tantangan," jawabku.

Reza membawaku ke sudut yang berfungsi sebagai cafe di sisi kanan toko buku ini. Tidak banyak pengunjung, sehingga terasa lebih tenang.

"Terus?"

Aku meunjuk buku yang dipilih Reza. "Gue pikir lo akan memilih horor atau science fiction. Bukan buku klasik, karena Reza yang gue kenal bukan tipikal seperti penyuka buku klasik."

Reza menatapku dengan mata menyipit. Dia mengacungkan buku itu ke arahku. "Jadi, penyuka buku klasik ini karakternya gimana?"

"Simple, enggak ribet. Tapi, sangat menghargai hal kecil di hidupnya. Baginya, semua hal diciptakan dengan tujuan tertentu dan enggak ada yang sia-sia. Di balik itu, dia juga deep thinker yang selalu mencari jawaban bahkan untuk hal yang penjelasannya sudah sangat obvious," beberku.

"Menurut lo, itu bukan gue?"

Aku mengangguk. "Lo emang simple, Za. But, I don't know. Mungkin, delapan tahun temenan, gue belum kenal lo sepenuhnya."

Stupid CupidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang