Emilly duduk dengan menelungkupkan kepalanya pada lipatan kedua kaki. Rambutnya berantakan dengan bahu yang bergetar kencang, isakan terdengar begitu menyedihkan membuat siapapun yang melihat dan mendengar Emilly menangis hari ini pasti ikut merasakan penderitaan Emilly.
Em berusaha kuat melawan dunia yang selalu bersikap kejam. Bersikap seolah ingin menghancurkan dunia, Em menderita sejak lama namun mengapa kini kebahagiaan seolah terus menjauh? Apa Em dilahirkan di dunia tanpa diberikan rasa bahagia?
Em kira sudah cukup melawan seluruh rasa pilu di dunia, Em kira sekarang waktunya Em memetik hasil air matanya dan hidup bahagia menghabiskan waktu dengan tertawa dan tersenyum, Em pikir cobaan terberat telah Em lewati dengan baik, nyatanya salah. Ini adalah titik terendah seorang Emilly Vathya.
"Emilly...."
Jo baru tiba dengan wajah yang memerah, rambut dan kemejanya terlihat sangat berantakan. Pasti, Jo baru saja menyelesaikan perjalanan bisnis selama satu minggu saat di German orang kepercayaan Jo yang ditugaskan menjaga Em mengatakan bahwa Emilly menangis dan tidak keluar kamar setelah berbicara dengan pria asing. Tanpa menunggu waktu lama Jo segera pergi meninggalkan German menuju Russia.
"Kenapa hm? Abang tinggal satu minggu kamu udah nangis. Bukankah kamu beberapa hari lagi menikah? Apa kamu rindu Abang?"
Jo perlahan memeluk Em dengan hangat, mengusap kepala hingga punggung Em searah, menenangkan Adiknya yang sangat terlihat kacau. Ini memang bukan pertama kali Em terlihat kacau, namun dari pancaran mata Em menunjukan betapa lemahnya Em, betapa sedihnya hati Em.
"A-abang...J-jav-vas..."
"Nangis dulu aja, terus menangis hingga kamu tenang. Emilly, ada Abang disini."
Setelah satu jam Jo dan Em saling memeluk dan Em menumpahkan segala tangis dan perasaannya kini Em mulai tenang, sesekali isakan kecil terdengar namun tidak ada air mata yang kembali jatuh menghiasi pipinya.
"Udah? Udah mau cerita?"
Em kembali melengkungkan bibirnya ke bawah, matanya berkaca-kaca lagi ingin kembali menangis. Jo terdiam, lalu mengecup pelan kedua mata Em yang saat terpejam kembali meneteskan air mata.
"Ngga usah. Jangan dipaksa, kamu tidur ya? Capek kan? Abang ambil minum dulu."
Em mengangguk, mengurai pelukannya dan membiarkan Jo meninggalkan kamar untuk mengambil minum. Em diam mengamati punggung Jo yang perlahan menghilang, Jo. Tidak memiliki hubungan darah namun selalu ada saat Em membutuhkan pelindung, entah harus dengan cara apa Em membalas seluruh kebaikan Jo dan Bunda.
Jo meletakan gelas dengan pelan tanpa menimbulkan suara, diamati wajah bengkak dan merah Em, jejak air mata masih terlihat dipipi Em membuat wajah cantiknya sedikit tertutup. Mata indah itu bengkak, pasti Em menangis cukup lama, mata Em seharusnya tidak boleh mengeluarkan air mata kesedihan, Jo bodoh. Ini salah Jo sepenuhnya.
Tangan Jo perlahan mengusap lembut rambut dan bekas air mata yang masih terlihat disudut mata kiri Em, hatinya seperti ditikam senjata saat melihat dan mendengar raungan dan tangisan Em. Saat Em menangis adalah hal yang paling Jo hindari, sebisa mungkin Jo melakukan apapun yang membuat Em menangis. Namun sepertinya janji Jo pada Bunda gagal hari ini, Jo lengah. Ada yang berani membuat Em menangis hebat.
"Siapa yang buat kamu begini?" Jo bermonolog dengan terus mengelus rambut Em.
"Abang akan cari tau, bahagia terus Emilly. Abang sayang kamu, tangisan kamu adalah cambukan untuk Abang."
Jo mengecup pipi dan kening Em cukup lama, rasanya ingin menyerap seluruh kesedihan Em dan pindahkan saja pada Jo. Apapun yang berakibat buruk pada Em, Jo selalu berharap bahwa hal itu berpindah pada Jo. Biarkan Em menikmati bahagia tanpa ada celah untuk bersedih, Jo rela. Jo dengan senang hati menggantikan kesedihan Emilly.
-tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Perm [END]
ChickLit[Sequel Ruang Rindu] / REVISI BERJALAN Perm. Sebuah Kota yang terletak di tepi sungai Kama, di kaki Pegunungan Ural. Kota dengan jumlah penduduk yang cukup padat di Negeri Beruang Putih. Pertemuan tidak sengaja membuat Emilly Vathya kembali dihada...