RETAK/ 48

684 196 44
                                    

Aku spontan melompat mundur dan terhenyak di atas salju. Semua kata-kata lenyap dari benakku melihat Jeep-2 nyaris tak berbentuk lagi setelah makhluk itu mengangkat kakinya.

Tangan kananku menggapai-gapai Daniel yang tertelantang di dekat kaki makhluk setinggi pohon palem itu, tapi kepalaku tetap mendongak ngeri.

Kegelapan malam beserta badai salju membuat wujud makhluk itu tampak hitam kelabu. Apa yang akan terjadi jika aku bergerak mendadak? Akankah aku bernasib sama seperti Jeep kami ... dan Leon?

Menelan teriakan dan kepedihan dalam-dalam, aku meringsek bangkit dan lari tergopoh-gopoh, mengitari Jeep yang telah remuk menuju sisi kiri hutan pinus. Setidaknya aku dapat menuntun makhluk itu jauh-jauh dari dua rekanku yang pingsan.

Maaf ... Maaf ...

Kata itu kurapalkan berulang kali dalam hati. Nasib tragis Leon memang tidak dapat dihindari, aku sadar itu. Meski begitu, rasa bersalah tetap membelenggu kakiku. Napasku sesak dan keringat membasahi dahiku.

Menuntun monster itu melewati barisan rapat pepohonan, aku berhasil sedikit membatasi ruang geraknya. Alih-alih mengitari pohon-pohon, ia melabraknya dengan tubuh yang besar, segampang menumbangkan pohon ketela.

Bunyi kayu-kayu yang berderak tumbang dari belakang membuatku sarafku mengejang, dan tak terkira berapa kali kakiku terperosok ke salju. Kegelapan malam dan badai salju benar-benar membatasi jarak pandang. Syalku hilang entah kapan dan dimana.

Sekitar satu menit tersenggal-senggal, aku terpeleset. Dahiku menghantam permukaan keras di bawahku. Es. Aku yakin sedang berada di atas danau atau telaga es yang membeku.

Baru saja menegakkan diri, makhluk bersisik itu sudah sangat dekat di belakangku. Dengan adrenalin membuncah, aku berusaha lari di atas es yang licin, berusaha menjauh bagaimanapun caranya.

Tiba-tiba, bunyi KRAKK yang keras datang dari arah belakang, disusul getaran hebat. Aku sempat limbung akibat permukaan salju yang kupijak retak dan merekah jadi beberapa keping. Pijakanku saat ini hanya sebesar piringan tapisan beras.

Kukira aku dapat sedikit lega dengan terperosoknya makhluk itu ke dalam air, tapi aku salah besar. Di bawah kegelapan, mataku menangkap pergerakan makhluk bersisik itu di bawah permukaan es yang bening.

"UWAAAAA!!!!"

Aku berteriak kaget saat punggungku menyentuh sesuatu. Aku baru berhenti saat tahu itu adalah Ann. Ia juga berhenti menjerit ketika mendapatiku, setelah nyaris menebasku dengan pedang.

"Mana yang lain!?" tanyaku, mengatur napas.

Ann tampaknya sengaja melepas baju perangnya, menyisakan semacam gaun putih polos selutut. "Di sekitar sini, tapi tidak tahu di mana," jawabnya, terdengar marah dan frustasi."Badai membutakan segalanya!"

Sadar situasi, Ann menyodorkan sebilah belati pendek yang tersembunyi di balik roknya. "Tampaknya makhluk itu sensitif rasa sakit." Ia menghunus pedang. "Kau tak perlu kuajari cara memakai benda ini, kan?"

"Untuk sekarang kurasa tidak."

Aku mencabut belati itu dan memposisikannya di depan dada, saling berdempetan punggung dengan Ann. Kami berdiri tepat di tengah piringan es yang sempit, tak bisa banyak bergerak kalau tak mau jatuh ke air.

Makhluk itu bergerak cepat sekali di bawah air dan sesekali menghilang di kegelapan air. Tanpa bisa membaca pergerakannya, ia tiba-tiba datang menghantam pinggiran tempat kami berdiri hingga terjungkit.

Satu tanganku memegangi Ann sementara satunya lagi mencengkram pinggiran piringan es, mencegah kami terluncur ke dalam air.

Ketika satu lagi makhluk serupa mendadak muncul dari sisi lain, aku baru teringat kalau sejak awal mereka ada dua. Tanpa sempat berbuat apapun, makhluk itu menggigit tubuh Ann hingga pinggang, hendak menelannya hidup-hidup.

Rainbow Mist ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang