Anggur Tundra /28

1.5K 288 43
                                    

Pagi ini, aku terbangun dalam kondisi menjerit. Untuk kesekian kalinya, mimpi buruk yang sama kembali menghantuiku. Semalaman penuh, setiap rentang waktu empat puluh menit, aku tersentak bangun dengan nafas tersenggal dan keringat membasahi wajahku. Berulang terus seperti itu hingga pagi datang. Akibatnya, sekarang rasa lelah menggerogoti setiap jengkal tubuhku.

Hari ini kami mulai bekerja. Sebagai pesuruh, mau tak mau kami harus melakukan apapun yang diperintahkan orang-orang di sini, bahkan anak kecil sekalipun. Dan sungguh, mereka benar-benar memperlakukan kami seperti budak.

Mereka membuat kami berlarian kesana-kemari karena untuk memenuhi keinginan mereka yang menuntut didapatkan dalam waktu singkat. Jika kami bertindak agak lambat atau melakukan kesalahan, orang-orang itu akan membentak-bentak kami seperti anjing yang tidak becus.

Diperburuk lagi dengan Denzel yang kerap kupergoki diam-diam mengawasiku penuh kecurigaan di setiap kesempatan, seolah-olah aku adalah maling yang akan mencuri barang-barang berharganya. Dan, Elysa yang jahilnya bukan main sering melukaiku dengan leluconnya. Maksudku, benar-benar melukai secara harfiah. Jika tidak menimbang kondisi Namju, aku pasti sudah melesat jauh dari tempat menyebalkan ini.

Belum lagi senja nanti kami akan pergi berburu, meski aku tak yakin makhluk macam apa yang nantinya akan kami buru. Aku tidak suka mengeluh, tapi, harus kukatakan...fisik dan mentalku benar-benar terbebani!

***

Waktu bergulir dengan lambat. Setelah penantian yang terasa selamanya, senja akhirnya turun, membawa semilir angin dingin beserta segudang kemuraman. Awan mendung bergulung-gulung, berlomba-lomba menutupi semburat oranye di langit bagai ombak.

Aku bergidik sambil mengusap lenganku, merasakan hawa dingin menggigiti kulitku yang hanya dibalut kaos lengan pendek. Karena tergesa-gesa tadi, aku tak sempat mengenakan mantel. Salahku.

Saat ini kami sedang dalam perjalanan berburu. Sesuai peraturan, para pesuruh juga bertugas untuk berburu. Ralat, kami memang ditugaskan untuk melakukan semua hal. Mulai dari yang ringan dan sepele hingga yang berat.

Dibekali beberapa pucuk senjata, kami berjalan melintasi bangunan-bangunan kosong yang tampak kian suram ketika kegelapan merayap. Aku yakin bangunan-bangunan estetik ini sebelumnya penuh warna dan sangat gemerlap semasa kota Moscow ini masih hidup. Sekarang hanya tersisa warna kelabu dan suasana hijau yang mendominasi akibat dominasi lumut dan tumbuhan yang merambat di sela-sela retakan tembok bangunan. Serta tak lupa, genangan air dimana-mana.

Alam benar-benar telah memenangkan haknya.

Meski demikian, suasana mencekam dapat ditepis oleh segudang kehebohan yang senantiasa mengiringi anak-anak ini. Mereka semua sangat aktif berbicara dan sesekali bernyanyi riang. Yah, kecuali untuk Denzel dan Elysa yang sialnya memaksa untuk ikut dengan kami. Memantau, katanya.

Melihat Dev yang memberikan jaketnya pada Shafa lantaran anak perempuan itu mengeluhkan dingin, aku juga ingin mencoba hal yang sama pada Namju. Namun, saat aku mengodenya bahwa aku kedinginan, pemuda itu hanya menjawab, "aku sih, tidak."

Ketidakpekaan pemuda yang satu ini benar-benar akut! Aku tak habis fikir mengapa begitu banyak gadis-gadis yang mengidolakannya.

Tujuan kami adalah ke pinggir kota. Denzel bilang disana adalah tempat berkumpulnya kawanan rusa, kuda dan hewan-hewan berdaging lainnya setiap senja. Kami menyusuri kota seluas 2.500 kilometer persegi ini dengan berjalan kaki, mengenakan sepatu bot agar celana kami tidak basah. Ketinggian genangan air yang meliputi jalanan kota berbeda-beda. Ada yang hanya setinggi mata kaki, sehingga kami dapat lewat tanpa harus basah-basahan.

Rainbow Mist ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang