Penyusup /50

696 213 27
                                    

   AKU mondar-mandir dalam sel tahanan kami di penjara lantai keempat paling bawah. Dinding kaca kokoh melingkupi sisi depan dan belakang sel, sementara sisi kanan dan kiri berbatasan dengan sel-sel kosong. Dylan selonjoran di sudut belakang, melamuni ikan-ikan yang sesekali mendekati bangunan ini untuk memperoleh cahaya.

   "Ikan paus sepertinya enak ..." Ia bergumam memecah kebisuan.

   "Kata ibuku ikan hiu lebih enak," balas Shafa lesu.

   Aku mengabaikan mereka, sibuk dalam kepalaku. Saat digiring ke bawah tadi, aku sempat mengamati seluruh ruangan dan sel lain yang kami lewati, tapi tidak tampak keberadaan Namju. Kucoba mengingat-ingat denah bangunan ini saat terakhir kemari. Di lantai dan ruangan mana kira-kira mereka menempatkan Namju?

   Suara derap sepatu membuyarkan lamunanku. Kami bertiga sontak berdiri saat Elysa muncul di balik jeruji kaca bersama dua orang pengawal. Shafa menghambur ke depan kaca, penuh harap akan pertolongan Elysa. Selang sedetik setelah dua pengawalnya pergi menunggu di luar, gadis albino itu menyilangkan tangan di dada seraya melirikku tajam.

   "Namju di lantai delapan," katanya kemudian, sedikit merendahkan suara. "Naik lift empat lantai dari sini."

   Seberkas harapan mekar dalam diriku. Aku sedikit mendekatkan tubuh ke depan kaca, mulai serius menanggapi Elysa. 

   "Lalu, apa selanjutnya?" tanyaku serius.

   Raut wajah Elysa berubah heran. Alisnya menekuk. "Maksudmu?"

   "Kau kemari untuk menolong kami, kan?" tanya Dylan berterus terang, padahal aku berusaha tidak menyinggung hal itu secara langsung agar tidak dicurigai pengawal di luar.

   Tawa remeh keluar dari mulut Elysa. "Buat apa aku melakukan itu?" bantahnya sambil tergelak. "Aku hanya ingin melihat secara langsung sebodoh apa kalian." Ia meledek dari balik bahunya selagi melenggang keluar. "Ternyata jauh lebih bodoh dari dugaanku."

   Dylan menggeram marah sementara Shafa melontarkan omelan-omelan pedas penuh kekesalan. Aku merapat ke kaca, berusaha mengutarakan hal terakhir yang amat ingin kutanyakan sebelum Elysa pergi. 

   "Bagaimana kabar denzel?"

   Pertanyaanku berhasil mencegat langkah Elysa. Ia seakan mengalami kilasan traumatis dalam detik-detik yang singkat, lalu tersentak kembali ke realita dan bergegas keluar tanpa menggubris pertanyaanku.

   "ELYSA, TUNGGU! SATU INI SAJA!" Aku belum menyerah.

   Elysa menghembuskan napas jenuh dan melirik dari balik bahunya, seolah menungguku bicara.

   "Boleh aku minta kertas dan pulpen?"

---

   DUA jam berlalu selepas kepergian Elysa. Aku duduk memeluk lutut di sisi belakang sel, melamuni dasar laut yang gelap. Harapanku seolah surut dibawa kawanan ikan yang berenang menjauh dan hilang di kegelapan. Tampaknya Elysa tidak akan mengabulkan permintaanku, berharap pada gadis yang jalan pikirannya sama sekali tak kumengerti itu adalah lelucon. 

   "Harusnya kita menyusun rencana dulu sebelum membobol kemari ..." lirih Shafa lesu. Dylan berdehem menyetujui.

   Sepertinya ditinggal Dev mengacaukan pikiran rasionalku hingga satu-satunya hal yang kupikirkan hanyalah bagaimana membuktikan bahwa markas C.R.A itu benar ada di sini. Aku terlalu kegirangan mengetahui kebenarannya sampai-sampai seluruh rasa waspada lenyap dariku, menyisakan pikiran yang pendek.

   Dylan yang sejak tadi mengeluhkan lapar tiba-tiba mengamuk. "AH, KEPARAT! TIDAK ADA YANG MENGANTAR MAKANAN, NIH?!" teriaknya seraya memukul kaca jeruji depan.

Rainbow Mist ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang