Malam berganti pagi. Sinar mentari yang lembut menyapa tiga ratus orang yang menjalankan aktifitas pagi ini, seperti biasa. Yang berbeda hanyalah aku yang bangun lebih awal. Bukan, lebih tepatnya sejak malam tadi aku memang tidak tidur sepicingpun. Kecemasan seperti menyedot pikiranku, membuat tubuhku tak mampu untuk rileks walau hanya sejenak.
"Bahkan Shafa?"
"Apalagi Shafa."
Perdebatan kami semalam masih bergaung dalam benakku.
"Dev, kau sadar, kan, yang kita lakukan ini sesungguhnya adalah mengumpankan diri
Peluang keluar hidup-hidup hanya 6 dari 10. Aku tak mau melibatkan banyak orang. Bahkan kalau bisa, aku tak mau melibatkan seorangpun.""Nayra ... dengarkan aku, jangan paksa dirimu melakukan semua hal sendiri. Aku paham kekhawatiranmu, tapi mereka tidak lemah. Mereka kuat-kita semua kuat ... jika bersama."
Kata-kata Dev semalam membayangi pikiranku. Anak laki-laki itu bersikeras untuk membawa semua orang yang mungkin bersedia ikut. Sementara aku, ketakutan terhadap kemungkinan akan adanya korban mengukuhkan keputusanku untuk tidak mengajak siapapun kecuali Dev dan Namju. Sebab rencana ini bukan hanya tentang melarikan diri dari tempat ini. Poin utamanya ialah bagaimana kami dapat menggiring para Tyran itu jauh dari orang-orang yang lain. Singkatnya, misi bunuh diri.
Kenapa? Apa yang kudapat dengan mempertaruhkan nyawaku demi orang-orang asing yang baru kukenal sebulan itu? Entahlah, kurasa tak ada alasan spesifiknya. Aku hanya mengikuti dorongan batin dan kata hatiku. Setidaknya itu membuatku merasa sedikit lebih baik.
Pagi ini, aku dan Namju mengkhususkan waktu untuk merakit beberapa senjata dan perlengkapan yang diperlukan untuk nanti malam-diantaranya kampak batu, tali jebakan, tombak, dan kalau bisa beberapa panah. Kami bekerja diam-diam di balik semak-semak dan benteng pepohonan di sudut hutan Barat yang jauh dari tempat pemandian, dan pastinya tak ada seorangpun yang lalu lalang di sekitar sini. Seharusnya Dev juga di sini, tetapi aku belum melihat pemuda bermata terang itu sejak fajar muncul tadi.
Tak terasa, empat jam berlalu. Perlengkapan yang sekiranya dibutuhkan pun sudah selesai kami rakit. Aku dan Namju menyembunyikan sebuah kampak batu dan belati, empat ruas tombak, tali-temali yang sudah diberi simpul, serta sebuah panah sederhana di bawah semak-semak tak jauh dari lapangan. Tak lupa, dua buah ransel yang sudah diisi sejumlah minuman, pakaian, dan lain-lain perlengkapan yang diperlukan.
Meski kondisi masih sejuk, posisi matahari sudah berada hampir tepat di puncak kepala. Jam tanganku menunjukkan pukul dua belas kurang lima saat aku masuk ke kabin untuk minum dan istirahat. Sesekali, aku mondar-mandir di dalam kabin, mencari keberadaan Shafa yang belum kelihatan batang hidungnya sejak pagi tadi-sama seperti Dev.
'Kemana mereka?' Biasanya dua orang itu selalu memberitahuku sebelum pergi ke hutan. Rasa penat dan khawatir menyerangku bersamaan.
***
"Hei, kira-kira dia kemana, ya?"
Namju yang sedang merebahkan diri-beristirahat sejenak sehabis menggambar peta kawasan hutan Timur dan koordinat yang akan kami tuju mengangkat kelopak matanya yang terpejam. Pria Asia itu menghembuskan nafas kasar. "Sudah kubilang, aku tak tahu." Ia kemudian beralih ke posisi duduk sambil mengerang singkat. "Sudahlah, sebentar lagi juga dia muncul," sahutnya dengan nada santai yang dibuat-buat. Air wajahnya jelas-jelas tidak tenang; aku bisa merasakannya meski berupaya ia sembunyikan.
Matahari hampir tenggelam, sementara Dev belum juga menampakkan diri. Orang-orang yang kami tanyai mengatakan kalau mereka melihat pemuda itu di sejumlah tempat, namun ketika kami cari ke tempat-tempat tersebut, sama sekali tak ada tanda-tanda keberadaannya. Shafa juga begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow Mist ✔️
Ciencia FicciónApa artinya kebahagiaan jika rumah--tempat hati berlabuh--tak lagi dapat digapai? Tragedi terdamparnya pesawat yang Nayra tumpangi senja itu adalah pengawal petaka. Niat menghadiri olimpiade berubah menjadi ajang bertahan hidup. Hutan trop...