Gejolak Lautan/ 38

1.1K 270 109
                                    

Karena sulit melepasnya, jadilah aku memotong tali penggulung layar dengan pisau lipat. Layar di haluan dan geladak diturunkan, membentang lebar dan megah. Kondisi kedua layar utama cukup baik, meski terlihat kumuh dan sangat lusuh. Yah, wajar saja. Aku bertaruh kapal ini sudah 20 tahun tidak digunakan.

"Tampak cukup baik bagiku!" Dev mengacungkan jempolnya dari bawah sana, mengisyaratkan bahwa kapal ini layak berlayar.

Aku tersenyum kecut. Ini pertama kalinya aku berlayar secara mandiri seperti ini. Antusiasme bergejolak dalam diriku; antara gugup, senang, dan takut. Aku berusaha optimis bahwa perjanalanan ini akan seru.

***

Kami memindahkan barang-barang dari van ke atas kapal. Beberapa perlengkapan yang rasanya tak lagi diperlukan kami tinggalkan begitu saja untuk mengurangi muatan. Mobil van yang telah menjadi rumah kami selama lima hari ini terpaksa kami tinggal karena sulit mengangkutnya dengan kapal.

Semua persiapan telah selesai. Waktunya kami berangkat.

Jangkar diangkat dan tali layar ditarik ke bawah. Begitu angin meniup layar yang membentang, kapal mulai bergerak. Dev mengambil alih kemudi, memutar arah kapal. Seiringan dengan itu, sorak-sorai bergema memenuhi udara sore yang dingin. Teriakan dan tawa penuh semangat berderai selagi kapal makin menjauh dari dermaga, turut memacu semangatku.

Namju berdiri di atas menara pengawas, memandu kapal bergerak ke arah selatan. Dev yang mengaku sudah biasa berlayar dengan kapal jenis ini mengemudi dengan telaten dan sesekali memberi instruksi. Aku memperhatikan Denzel duduk sendirian di atas tiang layar, memandang matahari di arah barat yang berangsur tenggelam.

Terkadang aku merasa aneh. Setiap dilihat dari jauh begini, Denzel terlihat sama seperti figur lelaki angkuh dan sinis pada umumnya. Tetapi, ketika aku menatap langsung matanya dari dekat, aku justru melihat ... kesedihan. Seolah dia menyembunyikan kepedihan mendalam di balik lensa biru tersebut, mengingat Denzel hampir tak pernah mengekspresikan apapun dengan wajahnya kecuali marah. Yah, setidaknya untuk saat ini dia tampak sedikit rileks.

"Nayra, Nayra!" Shafa menarik lengan bajuku.

Aku menoleh dan seketika menganga takjub melihat sekawanan lumba-lumba mengiringi kami tak jauh di sebelah kanan. Hatsune bergabung bersama aku dan Shafa di pinggir geladak. Dia terkikik senang, sebelum kemudian wajahnya merona merah ketika Namju berdiri di sebelahnya.

"Lumba-lumba di dekat pantai. Pemandangan yang langka, ya ...." gumam Namju.

Kumpulan lumba-lumba itu bernyanyi riang, kemudian beberapa menit setelahnya mendadak menjauh karena suatu hal. Aku menenggak ludah. Perasaanku tidak enak. Benar saja, hanya berselang beberapa detik, riak air yang ganjil tiba-tiba datang dari arah kiri. Disusul kemunculan seekor lumba-lumba raksasa yang melompat tinggi ke udara.

Aku melamun saat lumba-lumba itu lewat di atas kami, menghalangi cahaya matahari. Jantungku seolah berhenti berdetak saat ini juga. Aku bersumpah lumba-lumba raksasa itu sama besarnya dengan kapal ini. Warnanya putih kelabu dan bentuk tubuhnya persis seperti lumba-lumba pada umumnya. Tapi kenapa ... makhluk itu sangat BESAR!?

Semua membeku selagi mendongak, terlalu terkejut hanya untuk sekedar berteriak. Aku melamuni tubuh licin hewan itu, bertanya-tanya apakah ini mimpi. Karena jika bukan, maka ini sungguh gila.

Gelombang besar timbul ketika lumba-lumba itu mencebur kembali ke dalam air. Hujan lebat singkat membasahi kami semua dan seisi geladak. Kapal terhuyung ke arah kiri dan oleng sesaat, membuat beberapa orang tersungkur lantaran kesulitan menyeimbangkan diri.

Barulah kegemparan meledak di seisi kapal. Dylan, Leon, dan Tobio serempak menjerit histeris. Shafa dan Hatsune terjatuh lemas, sementara yang lain mengerjap bengong.

Rainbow Mist ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang