1 (Turbulensi)

4.2K 511 23
                                    

"Kenapa?" Aku bertanya lagi, dadaku mulai panas.

Bibi menjawab dari speaker ponsel di dekat telingaku, "Karena pamanmu bilang begitu. Nak, kamu udah tiga bulan enggak tidur di rumah. Kami kangen."

"Kami?" Aku tertawa sinis. Bunyi air keran kamar mandi umum seolah menyimak percakapanku. "Paling Bibi aja. Toh setiap Ayra pulang dia enggak pernah di rumah."

"Saya nggak akan bilang dua kali." Aku tertegun ketika suara datar paman menggantikan Bibi. Rupanya orang itu di rumah. "Cukupkan sikap kekanakan kamu. Batalkan penerbangan kamu ke UK. Pulang sekarang. Kamu itu cuma pemain cadangan, jangan sok penting."

Amarah meletup di kepalaku, tapi aku berusaha tetap tenang. Bagaimana mungkin pria itu menyuruhku batal berangkat tepat setengah jam sebelum penerbanganku? Dia yang bersikap kekanakan!

"Nggak," jawabku ketus. "Lagian saya mau ke mana saja bukan paman yang membiayai, kok. Kalau perlu, saya nggak akan pulang lagi!"

Aku menutup panggilan dengan kasar.

Berdiri di depan cermin yang menampilkan separuh tubuh bagian atasku, aku menghembuskan napas. Mood-ku benar-benar berantakan karena pria egois yang sekalipun tidak pernah melirikku dan segudang prestasiku itu. Yang bahkan tidak pernah menanyakan kabarku setiap ada kesempatan kami duduk bersama. Yang selalu menuntut pencapaianku, tapi tidak pernah memujiku ketika aku berhasil, malah membandingkan pencapaianku dengan ibuku yang bahkan tidak pernah kukenal. Paman adalah alasan mengapa aku selalu mencari kegiatan jauh dari rumah.

Meski perasaanku kacau, aku tersenyum menarik napas, menegapkan bahu, lalu menyisir rambutku yang menjuntai sepinggang dengan jemari sebelum keluar dari kamar mandi. Kembali tersenyum lebar untuk terakhir kalinya, menampilkan gigiku yang kecil-kecil dengan sepasang taring kecil mencuat.

Aku kembali ke rombongan di deretan bangku depan ruang tunggu dengan wajah sumringah. Penerbangan dari bandara Internasional Logan menuju UK dua puluh menit lagi. Lusa lalu aku menyabet medali perunggu dalam ajang techno terbesar sedunia yang dilaksanakan di MIT (Massachusetts Institute of Technology), sebagai salah satu delegasi dari Asia Tenggara. Dan besok lusa, aku bersama rombongan murid SMA berprestasi dari berbagai belahan dunia akan menghadiri acara bibit unggul yang diadakan UNICEF di London.

Aku terbiasa menjalani rutinitas semacam ini.

Lima menit bercakap-cakap dengan rekan-rekan seperjalananku dan menanggapi sorot kamera, aku pamit sebentar untuk membeli tissue basah. Sejujurnya aku hanya ingin berjalan-jalan di ruang tunggu, melepaskan sesak di dada. Aku tidak suka keramaian, apalagi disorot kamera. Terutama karena mood-ku sedang buruk akibat masalah paman.

Menemukan deretan bangku yang sepi, aku duduk di dekat gadis kecil yang sedang memeluk boneka beruang warna pink. Matanya terpejam, tampak berjuang menahan kantuk. Ketika aku menangkup dahinya yang nyaris membentur punggung kursi di hadapannya, anak itu terbangun menatapku. Matanya bundar, cokelat terang dan mengkilap diterpa cahaya. Pipinya chubby, sedikit kemerahan, senada dengan kerudung pashmina warna cream yang dia kenakan. Jujur, aku agak terkesima melihat penampilannya yang serupa boneka. Dia memiliki paras Timur Tengah. Usianya barangkali sekitar empat belas atau lima belas tahun.

"Anggap saja kau kenal aku," kataku dengan bahasa Inggris, tersenyum.

Aku menyilangkan kaki, mencari posisi nyaman sambil membuka majalah tamu. Berharap rombongan tidak mencariku. Masih sepuluh menit lagi sebelum kami dipersilahkan masuk kabin.

"Kok bisa kau secantik ini, ya?" Gadis itu akhirnya bicara setelah mengamatiku beberapa saat. Entah dia memang bermaksud memuji atau sekedar berbasa-basi. "Operasi plastik?"

Aku menoleh oleh kalimatnya yang terakhir, tergelak. "Kenapa kau pikir aku operasi plastik?"

"wajahmu sangat simetris, dan bentuk wajahmu yang lonjong kemudian dagu lancip, seperti barbie. Kau juga tinggi." Dia menatapku dari atas ke bawah. "Terlalu tinggi."

"Well, terimakasih. Kuanggap itu pujian." Aku menanggapinya dengan santai. 170 senti. Aku memang tergolong tinggi untuk remaja seusiaku. "Dan aku masih produk original. Aku Nayra omong-omong. Dari Indonesia."

"Shafa." Dia turut memperkenalkan diri, menyambut uluran tanganku.

"Dari Turki?" Aku menebak berdasarkan ciri fisik dan aksennya.

Shafa mengiyakan seraya mengangguk takjub.

Kami bercengkrama beberapa saat. Aku terkejut ketika dia spontan menyanyikan lagu ulang tahun saat kuberitahu bahwa aku sedang berulang tahun ke-tujuh belas. Suaranya cempreng dan agak memalukan, tapi dia bernyanyi dengan gembira, membuatku bertepuk tangan di akhir lagunya. Lucu sekali bagaimana hatiku dibuat hangat oleh orang asing yang baru kujumpai secara kebetulan.

Aku berdiri saat hampir waktunya naik pesawat. "Baiklah. Sampai jumpa di pesawat, Shafa," ujarku pamit.

Gadis berkerudung itu langsung menatap boarding-pass di tangannya, seketika menebak darimana aku tahu kami di pesawat yang sama.

---

Aku dan rombongan duduk di kabin kelas ekonomi. Beberapa dari kami terpencar, termasuk aku. Aku duduk di antara seorang wanita paruh baya bertubuh besar dan anak laki-laki berambut pirang. Anak itu mengangguk sambil tersenyum, menyapa dengan sopan ketika aku duduk. Dia jangkung, berkulit pucat dengan mata hijau rumput. Bibirnya tipis, nyaris hanya menyisakan garis saat dia tersenyum. Usianya mungkin enam belas tahun atau seumuranku. Sepertinya orang UK.

"Kita bisa berganti tempat kalau kau mau." Anak laki-laki itu menawarkan, entah tahu darimana kalau aku memang suka duduk di pinggir jendela.

Aku awalnya sungkan, menolak, tapi dia bersikeras tidak apa-apa. Akhirnya aku menerima tawarannya dan duduk di dekat jendela.

---

Satu jam berlalu. Pesawat mengudara dengan mulus membelah awan di langit sore. Perjalanan dari Massachusettes ke UK ada sekitar tujuh jam 47 menit. Aku menghentak-hentakkan kaki, gelisah. Sejak dulu aku tidak suka duduk diam di tempat yang sama dalam waktu yang lama. Tampaknya ini akan jadi penerbangan yang lama.

Tanpa kusadari aku tertidur. Mataku baru terbuka perlahan saat aku merasakan pesawat bergoncang hebat. Alarm tanda bahaya meraung-raung, terdengar mencekam. Jantungku mencelus, tapi sekujur tubuhku mati rasa. Apakah aku bermimpi? Aku tidak mendengar suara penumpang lain.

Masker oksigen darurat keluar, berayun-ayun di atas kepalaku. Di luar jendela, cahaya pelangi terang berkelebat, memusingkan dan menyilaukan mataku. Fenomena macam apa itu? Seumur hidup baru kali ini aku melihat itu. Cahaya itu memenuhi penglihatan. Aku hanya bisa menyipit karena tubuhku tidak bisa digerakkan.

Suara-suara aneh yang bising bergaung di luar pesawat, membuat bulu kudukku berdiri. Sekilas seperti suara ombak, suara desingan yang bercampur baur, kemudian bunyi sesuatu berderak patah. Seolah dibuka oleh suara itu, pesawat mendadak oleng ke kanan. Tubuhku seperti merosot kemudian melayang. Semua berputar-putar di tengah kabin, jungkir-balik. Aku terlalu bingung dan mengantuk berat untuk panik. Kesadaranku dengan cepat lenyap sebelum membentur benda apapun di tengah kabin.

---

Aku tersentak. Serangkaian rasa nyeri menyerang ototku begitu aku sadar bahwa aku tertelungkup di lantai kabin, di antara orang-orang yang juga baru bangun dan linglung. Tas, barang-barang, dan orang-orang berserakan di lantai. Kacau. Kepanikan terdengar dari semua sisi kabin.

"Ini dimana ..?" Aku bicara sendiri. Tentu saja di dalam pesawat. Tapi tepatnya, dimana pesawat ini berada?

Ketika aku bangkit dan melihat pemandangan di luar jendela, aku tahu kami tidak sedang di bandara atau tempat manapun di UK.

"Kok, kita, disini ...?"

-TBC-

Rainbow Mist ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang