Dev sudah lama tenggelam dalam dunia mimpinya. Ia mendengkur halus seperti anak kucing. Aku merapatkan selimut ke tubuhku seraya memeluk bantal kookie kesayanganku. Tak banyak orang berbicara, suasana terasa muram dan mencekam. Yang terdengar hanyalah suara bisikan-bisikan kecil.
Aku berusaha keras memaksa diriku untuk tidur, sadar bahwa itu akan membuat waktu seperti berjalan lebih cepat, tetapi gagal setelah mencoba selama dua jam.
Apakah perasaan tidak enak ini hanya disebabkan tak ada orang yang berjaga di luar? Tidak, aku yakin bukan karena itu. Ada sesuatu yang terasa berbeda. Sejak hujan deras mulai mengguyur tempat ini beberapa jam yang lalu, suara raungan dari hutan timur tak lagi terdengar. Terbiasa mendengar suara tersebut setiap malam selama dua minggu berturut-turut membuat keheningan yang ganjil ini terasa tidak lazim. Apa yang membuat makhluk pemilik suara itu berhenti? Apakah hujan yang deras menakuti mereka?
Waktu berjalan lambat seolah merangkak dan menyiksa. Aku merasa seakan esok hari tidak akan pernah tiba.
Satu jam lagi sudah berlalu. Kemudian, jam berikutnya. Akhirnya, aku mulai tertidur, tetapi dengan gelisah. Aku menduga saat itu sekitar pukul satu malam ketika aku membalikkan posisi badan untuk kali kesekian juta malam ini. Aku menyilangkan kedua tanganku di dada dan memandang langit-langit kabin, yang hanya tampak berwarna hitam di tengah kegelapan.
Kemudian, segalanya berubah.
Bunyi geraman hewan buas terdengar dari luar, diikuti suara nafas berat mengerikan yang bergemuruh. Suara raungan yang biasanya terdengar kembali, namun begitu nyaring, seakan-akan sumber suara itu hanya berjarak puluhan meter. Aku melonjak bangun, seperti yang dilakukan sebagian besar penumpang lain.
Akan tetapi, Dev bangkit lebih dulu dari siapapun, melambaikan tangannya di tengah kegelapan, kemudian berdesis menyuruh diam seisi kabin dengan meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Dev mengeluarkan sebuah pena pendek berbadan gembung dengan senter praktis di ujungnya. Ia menyalakan benda tersebut, menyeka embun di kaca jendela menggunakan telapak tangannya, kemudian menempelkannya ke kaca. Dia lalu mencondongkan tubuhnya untuk melihat ke luar. Aku bergeser pelan-pelan untuk bergabung dengannya.
Aku membungkuk di bawah Dev, merapatkan mataku ke kaca jendela yang sedikit basah dan masih berembun di bagian luarnya. Dev menyorot lampu senternya yang tak terlalu terang ke berbagai arah, namun yang terlihat hanyalah lapangan berumput yang berkabut dan buram lantaran terhalang embun dan titik-titik air di kaca jendela. Setelah sekitar satu menit, aku menyerah dan bersandar kembali di bangkuku, begitu juga dengan Dev.
Beberapa menit berlalu, beragam suara mengerikan kian mendekat dan terdengar setiap sepuluh hingga dua puluh detik sekali. Suara raungan yang melengking diikuti erangan serak mirip jeritan hewan buas yang menderita. Aku membayangkan sekumpulan anjing gila dengan mulut berbusa berjalan kemari--kemungkinan paling ringan. Semak-semak dan dedaunan di hutan bergemerisik dengan keras, seolah sekawanan bison sedang berjalan mendekat melintasi hutan. Aku mengernyit ketakutan setiap kali terdengar bunyi-bunyian itu.
Shafa yang berada di deretan bangku paling belakang tiba-tiba menjerit. Anak perempuan itu bergegas membekap mulutnya segera setelah melihat sesuatu di luar jendela bergerak mengitari pesawat perlahan-lahan. Bunyi langkah kaki yang menginjak genangan air di rerumputan terdengar jelas ketika suara raungan dan erangan mengerikan itu berhenti total, menyisakan keheningan yang mencekam. Dev langsung mematikan senternya saat melihat sesuatu yang tinggi melintasi jendela kami, bergerak perlahan-lahan seperti sedang mengintai sesuatu. Tak perlu ada masalah tambahan untuk memancing perhatian.
Terlalu gelap untuk melihat makhluk apa yang bergerak di luar sana, tapi cukup hening untuk memastikan bahwa makhluk itu ada lebih dari satu, mengintai di beberapa jendela. Aku betul-betul berharap apapun yang ada di luar itu tak memiliki penglihatan malam.
Kecemasan menunggu sesuatu yang mungkin akan terjadi selanjutnya menyelubungi diriku, rasa takut dan khawatir yang seolah mencekik mulai menguasaiku. Aku nyaris berharap makhluk-makhluk itu segera menampakkan diri dan mengakhiri semuanya. Penantian ini tak tertahankan. Semua yang ada di kabin terdiam kaku, tak ada yang berbicara maupun bergerak. Ketakutan seakan menggantung di udara seperti kepulan asap hitam. Aku merasa hampir dapat mendengar detak jantungku sendiri.
Tiba-tiba, suara decitan boneka karet terdengar dari deretan bangku di depanku. Seorang balita yang biasa duduk disana sepertinya tak sengaja meremasnya boneka bebeknya. Jantungku nyaris melompat ke tenggorokanku. Aku menduga hal yang sama pasti juga dirasakan semua orang. Ketegangan memenuhi udara. Aku tak mendengar seorangpun menarik napas.
Aku baru saja berharap Dev mengatakan sesuatu yang lucu kepadaku ketika makhluk-makhluk yang sebelumnya berdiri tenang di luar sana tiba-tiba meraung keras, sahut-menyahut dengan suara lengking, kemudian menggerogoti pesawat dengan menancapkan kuku-kuku mereka menembus dinding--membuat badan pesawat bergoncang kuat. Suara napas tersentak dan teriakan meledak di seisi kabin.
Situasi seketika berubah.
Semua orang bubar dari tempat duduk masing-masing dan menyingkir dari jendela sejauh mungkin. Aku mengikuti mereka, Dev berdiri tepat di sebelahku. Orang-orang berdesakan di bagian tengah kabin, menatap ke jendela.
Sepertinya ada lima atau enam makhluk itu di luar. Setidaknya.
"Jangan menumpuk di satu titik! Semuanya berpencar!" teriak Dev.
Mengikuti arahan Dev, orang-orang mulai berpencar ke seluruh penjuru kabin, dari depan hingga belakang. Kepanikan melanda. Suara tangisan, jeritan, serta suara kaca yang pecah terdengar dimana-mana.
Aku langsung mendekap Shafa saat anak itu menghampiriku. Entah mengapa, membayangkan wajah lugu Shafa yang saat ini pucat dan ketakutan membuatku sangat sedih hingga aku merasa ingin memeluknya sekarang juga.
"Aku dengar teriakan Namju dan Mr. Smith! Sepertinya mereka dalam bahaya!" serunya dengan suara bergetar. Dengan semua kebisingan ini, pendengaranku nyaris tak bisa membedakan beberapa suara, tetapi Shafa dapat dengan mudah mengenali suara Namju dan Mr. Smith.
'Wow, Shafa, situasi kita juga dalam bahaya, tapi kau masih bisa peduli dengan keadaan orang lain. Aku kagum padamu.' Aku ingin berkata seperti itu, nanti, kalau aku masih selamat.
Tepat saat aku menghampiri Dev untuk meminjam senter, suara benturan keras diiringi bunyi logam yang terkoyak terdengar dari arah Kokpit.
"Mr. Smith!!!" Suara teriakan Namju menggelegar di udara.
Aku sangat takut, namun tak bisa menyangkal kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Pilot itu. Tak pernah kudengar sebelumnya Namju berteriak sehisteris itu. Tanpa pikir panjang, aku berlari mendekati salah satu jendela di bagian depan lalu menyorot cahaya senter ke luar. Mataku terbelalak saat melihat makhluk mirip beruang berkepala dua berlari di atas rerumputan menuju hutan Timur. Kepala makhluk itu tampak seperti kepala harimau yang burik dan dipenuhi bekas luka. Panjang tubuhnya sekitar dua meter lebih dengan dengan kulit yang keriput--nyaris tak berbulu. Aku merasakan sentakan yang dingin dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seluruh tubuhku merinding. Tidak-aku pasti salah lihat, atau mungkin makhluk itu tidak nyata-semacam hantu atau halusinasiku.
Aku terdiam, membeku di depan jendela, hingga cahaya senter sekali lagi menyorot makhluk yang serupa melintasi rerumputan ke arah yang sama. Makhluk itu membawa kabur Mr. Smith dengan mencengkram beliau di mulutnya. Darah kelihatan merembes dari kemeja putih Pilot itu.
"Mr. Smith! Makhluk itu menculik Mr. Smith!" teriakku pada orang-orang di kabin. Semua melihat padaku, namun tak ada yang tergerak untuk melakukan sesuatu atau mengusulkan untuk mengambil tindakan. Aku makin frustasi.
Aku mencondongkan kepalaku ke jendela ketika suara langkah kaki yang ringan terdengar dari luar. Cahaya senter sempat menangkap sesosok pemuda melesat sangat cepat di atas rerumputan, berlari ke arah yang sama dengan makhluk yang menculik Mr. Smith. Di belakangnya, dua makhluk yang sama mengikutinya dengan cakar-cakar yang terbuka. Meskipun dengan penerangan temaram, aku langsung menyadari siapa orang itu. Aku menjerit--berteriak kepadanya agar berhenti--tetapi terlambat.
Namju, berlari dengan kecepatan penuh, menghilang ke dalam hutan.
⬜⬜⬜
***Sneak Peek***
"Oh, ya!? Kita baru kenal dua minggu dan kau menyuruhku mempercayakan nyawaku padamu?!"
-Eun Namju
Big Love, Curious_03
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow Mist ✔️
Bilim KurguApa artinya kebahagiaan jika rumah--tempat hati berlabuh--tak lagi dapat digapai? Tragedi terdamparnya pesawat yang Nayra tumpangi senja itu adalah pengawal petaka. Niat menghadiri olimpiade berubah menjadi ajang bertahan hidup. Hutan trop...