Hutan (2)

2.8K 444 20
                                    

Aku bangkit sambil berpegangan pada jok. Entah perasaanku saja atau posisi pesawat memang agak miring. Kondisi di luar pesawat sangat tenang. Bunyi mesin pesawat yang bising pun tak lagi terdengar. Sementara di dalam kabin, kepanikan meledak. Semua orang berbicara bersamaan. Sebab pesawat kami tidak mendarat di landasan pacu, melainkan di tengah hutan rimba.

Aku tercengang, jantungku seolah membeku sepersekian detik. Pepohonan tinggi dan lebat menyesaki badan pesawat. Ranting dan dahannya seolah mengetuk jendela, hendak masuk. Warna hijau mendominasi di luar sana. Aku memang belum pernah ke London sebelumnya, tapi aku yakin bandar udara tidak seperti ini. Lantas ini dimana?

"Mohon perhatiannya!"

Perhatianku beralih pada bapak-bapak berseragam putih yang berseru dari depan kabin. Sang pilot pesawat. Aku tidak memperhatikan kapan dia keluar dari kokpit. Pilot itu didampingi seorang kopilot yang terlihat sangat muda dan berparas Asia Timur.

"Penumpang yang terhormat, harap perhatiannya!"

Seruan yang kedua berhasil menyita perhatian sebagian penumpang. Sementara sisanya ribut berseru-seru, menuntut penjelasan awak penerbangan. Aku berdiri tegak di tengah kabin, diam menanti penjelasan.

"Sebelumnya kami mohon maaf atas situasi ini," Pilot senior buka suara seraya melepaskan topinya. Suaranya teduh dan berkharisma. "Disini kami menyampaikan situasi sebenarnya."

Aku menenggak ludah, berdebar-debar.

"Separuh sayap kanan pesawat patah, sementara mesin pendorong sayap kiri mengalami kerusakan. Tapi, kita patut bersyukur dengan kondisi seperti itu pesawat masih dapat melakukan pendaratan darurat. Untuk sementara kami masih mencoba menghubungi menara pengendali terdekat." Pandangan pria itu kemudian menyisir seisi kabin. "Dan bagi penumpang yang merasa cedera, silahkan mendatangi pramugari kita untuk diberikan penanganan secepatnya."

Seakan menguarkan udara yang menyejukkan, sebagian besar penumpang pesawat mulai tenang, meski ketegangan masih menggelayut di udara. Selayaknya pilot profesional, bapak berambut putih dengan jambang yang sama putihnya itu cukup mahir mengendalikan situasi seesaat. Sayangnya, penjelasan mereka tidak membuatku puas. Entah kenapa aku merasa dua orang itu tahu lebih banyak dari apa yang mereka sampaikan.

"Menara pengendali ..?" celetukku pelan. "Tahu darimana ada menara pengendali di dekat sini, sementara sejauh mata memandang cuma ada hutan ..."

Mendengar ocehanku, si kopilot yang sejak tadi diam menoleh. Tidak seperti pria di sisinya yang berwajah teduh, pemuda yang kelihatan masih sangat muda itu terlihat kurang ramah. Tatapannya tajam dan terkesan meremehkan semua orang yang dilihatnya.

"Itulah gunanya kami belajar, Nona," balas pemuda berbahu tegap itu sinis. Aku meresponnya cemberut, agak tersinggung.

Ia lalu maju selangkah sebelum berseru.

"Kalian semua tidak perlu panik!" Suaranya seperti orang marah, tapi gelagatnya santai, seolah semua peristiwa ini hanya permainan. Aku sungguh berharap dia akan bilang kalau kami hanya dikerjai, ini hanya prank, dan kita semua sebenarnya baik-baik saja dan sudah sampai di UK. "Karena mesin pesawat masih berfungsi dengan baik," Ia melanjutkan. "Radar dari menara kendali terdekat akan mengakses lokasi kita secepatnya. Silahkan kembali ke kursi masing-masing dan duduk dengan tenang, jangan kemana-mana, dan jangan sampai ngompol."

Sekali lagi aku tidak puas mendengar penjelasan mereka. Aku menghela napas kecewa. Kali ini tidak terdengar balasan dari para penumpang. Aku percaya semua orang masih terlalu syok dan berusaha mengendalikan diri masing-masing. Aku sendiri pun masih berdiri termenung di tengah kabin, belum percaya sepenuhnya dengan situasi ini. Otakku bekerja terlalu cepat menyimpulkan banyak hal. Bisa jadi aku bermimpi, karena kepalaku pusing sekali.

Rainbow Mist ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang