Setelah mengambil Mr. Smith yang untungnya masih tersangkut di atas pohon--tak berubah posisi sedikitpun, kami kemudian berjalan lambat-lambat menuju lapangan sambil membopong pilot yang tak sadarkan diri itu.
"Kau tahu darimana aku pernah masuk ke hutan-hutan ini?" tanya Namju tanpa berbasa-basi.
"Aku beberapa kali melihatmu menyelinap ke hutan ketika semua orang sudah tidur."
Namju mengangkat wajahnya. "Ternyata gadis pemurung sepertimu juga punya kebiasaan menguntit." Ia memasang cengiran miring yang sepintas terkesan menyebalkan.
Aku menatapnya sinis. Menguntit? Tentu saja tidak. Aku hanya kebetulan melihatnya beberapa kali ketika insomiaku kambuh. Aku mengidap insomnia ringan yang sering memaksaku terjaga disaat semua orang telah tertidur.
"Ya, kalau kau mau berpikir begitu terserah saja." Aku mengedikkan bahu, tak peduli apa yang orang ini pikirkan tentangku. Aku terlalu lelah untuk sekedar berdebat. Punggungku sangat perih, seperti ada luka robek yang dalam menggerogotinya. Ditambah lagi aku sedang membopong laki-laki paruh baya yang jauh lebih berat dariku. Meski melakukannya berdua, tetap saja otot-ototku menegang.
"Jadi, soal harimau-beruang aneh itu," kataku. "Apa itu sebenarnya? Lalu dari mana asalnya?" Aku kembali membuka percakapan.
"Mana kutahu, aku hanya melihat mereka beberapa kali. Itu pun secara tidak sengaja," jawab Namju sinis sambil menatap lurus ke depan. "Yang jelas mereka sepertinya aktif di malam hari, dan kupikir tubuh yang menjijikkan itu adalah hasil rekayasa orang-orang aneh yang sinting." Namju menjelaskan sembari kami terus berjalan melewati kelompok pepohonan yang makin lama makin renggang. "Dan, kurasa mereka tinggal jauh di ujung hutan ini, atau bisa jadi mereka dari luar sana-- Entahlah. Kepalaku pusing keseringan memikirkannya. Kau tanyakan saja pada mereka sendiri. "
Selama satu hingga dua menit, suasana hening saat aku mencerna informasi tersebut. Kami berbelok lagi di beberapa deret pepohonan. Aku memikirkan tentang siapa yang telah merekayasa hewan-hewan malang itu, dan apa tujuannya. Dan, dengan alasan tertentu, aku juga memikirkan bangunan terbengkalai yang kulihat di tengah hutan semalam.
"Tapi gila, memang." Akhirnya Namju meneruskan. "Sudah dua kali aku melihat makhluk itu sebelumnya, tapi yang terpikir olehku cuma sembunyi. Kupikir jika sampai bertemu makhluk itu, nasibmu sudah tamat--selesai sudah. Aku tidak pernah berpikiran untuk menghadapi mereka seperti itu, apalagi menjebaknya. Kau benar-benar membuatku terkejut."
Kami berdua terus berjalan. Namju hampir tampak gembira, tetapi masih ada satu hal yang menggangguku. Aku mencoba mengabaikannya, menyangkalnya sendiri. "Bagaimana kalau ada teman mereka yang datang ke lapangan saat kita masuk ke hutan?"
Namju menoleh padaku, tanpa ekspresi.
"Kita sebaiknya cepat-cepat ke sana," kataku, berharap kondisi orang-orang di pesawat lebih baik dari kami.
Kami berusaha mempercepat langkah sembari membopong Mr Smith, tetapi tubuh kami terlalu nyeri dan kami kembali berjalan lambat meskipun ingin segera tiba. Ketika sampai di deretan pepohonan terluar, aku mendadak ragu. Jantungku berdegup lebih cepat ketika aku melihat ada gerakan dari arah depan.
Kelegaan membanjiriku sesaat berikutnya saat aku sadar bahwa itu adalah Dev dan sekelompok pemuda. Sinar matahari yang terang dari lapangan tampak di hadapan kami, dan orang-orang berkumpul di luar sana. Mereka baik-baik saja, syukurlah.
Melihat kedatangan kami, Dev segera berlari menghampiri. "Apa yang terjadi!?" desaknya. Suaranya nyaris terdengar marah. "Kenapa--"
"Nanti saja kami ceritakan," sergahku. "Kita harus memberi Mr Smith pertolongan pertama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow Mist ✔️
Science FictionApa artinya kebahagiaan jika rumah--tempat hati berlabuh--tak lagi dapat digapai? Tragedi terdamparnya pesawat yang Nayra tumpangi senja itu adalah pengawal petaka. Niat menghadiri olimpiade berubah menjadi ajang bertahan hidup. Hutan trop...