Obrolan Malam/26

1.4K 285 18
                                    

Alisku bertaut melihatnya. Bos? Dia?

Ditatapnya pria berbadan besar yang baru saja menyapanya itu. "Temui Stephen dan pergilah ke ruang peta." Ia memerintah dengan suara lunak, namun terkesan angkuh.

"Tapi, bos, tawanan ini--"

"Mereka milikku," tegasnya. Masih dengan suara rendah, tapi berhasil membuat pria dengan usia terpaut jauh darinya itu tersentak. "Pangkatmu sudah naik. Nanti kugandakan bonusmu, paham?"

Dia akhirnya mengangguk kemudian buru-buru meninggalkan ruangan beserta empat orang lainnya.

Setelah mereka menghilang di balik pintu, pemuda berambut keperakan itu melirikku dingin. Hanya sekilas, tapi cukup untuk membuatku bergidik akibat sorot matanya yang terkesan mengancam, ditambah lagi dengan garis hitam di sekitar matanya. Sepintas kukira dia memakai eyeliner.

Ia lalu beralih ke sebelah pembaringan Namju dan mengeluarkan alat injeksi mini dari saku jaketnya. Tabung kecil tersebut berisi cairan bening berwarna kebiruan.

Kuawasi gerak-geriknya saat ia membuka tutup jarum suntik itu-- menatapnya was-was.

"Jangan macam-macam," ucapku tegas, berharap suaraku terdengar cukup mengancam.

Seolah tak mendengar peringatanku, ia meraih lengan Namju, hendak menyuntikkan cairan yang entah apa isinya itu. Lantas aku cepat-cepat menahan tangannya.

"Apa isinya?"

"Morfin," jawabnya. Suaranya datar ibarat garis lurus, namun terdengar dalam dan penuh ancaman.

Morfin adalah bahan adiktif, yang jika dipakai dalam dosis dan campuran yang tepat dapat digunakan sementara untuk meredakan nyeri.

Kutatap pemuda itu dengan pandangan mengintimidasi. "Kalau bukan?"

"Kau bisa memastikan sendiri." Ia meyakinkan dengan intonasi yang sama sinisnya. Meski begitu, tak kulihat sebersit kebohongan pun di sorot mata biru tersebut.

Dengan ragu-ragu, aku melepaskan pegangan tanganku. Membiarkannya menyuntikkan cairan itu ke lengan temanku. Beberapa detik setelah cairan itu masuk ke pembuluh darahnya, kelopak mata Namju berkedut dan kepalanya bergerak lemas.

"Namju?"

Aku mengoncang pelan tubuh Namju. Dibarengi erangan lemas, kelopak matanya membuka dengan lesu. Aku membantunya bangkit ke posisi duduk. Pemuda kelahiran Daegu itu mengernyit menatapku.

"Dimana ini?" tanyanya seraya meringis pelan.

"Di markas dia." Aku mengedikkan dagu--menunjuk pemuda bermuka datar yang sedang berjalan ke arah pintu di sebelah kanan.

Segera setelah kesadarannya menangkap siapa sosok itu, Namju bergegas melompat bangkit dengan wajah berkilat marah.

"Ah, kau ..." Tatapan matanya yang sayu langsung menegas. Jelas sekali ia tidak senang dengan pemuda bermata biru tersebut. Yah, sebenarnya aku pun tak jauh berbeda dengannya.

Si pemuda berambut keperakan melirik sekilas dari balik punggungnya.

"Denzel," ucapnya singkat, kemudian melongos kembali dengan cuek. Entah sifatnya memang demikian atau dia sengaja berlagak dingin supaya terkesan cool. Ya ... ala-ala karakter lelaki dingin di dalam novel.

"Beraninya kau melakukan itu pada kami. " Namju yang tersulut emosi mengingat bagaimana kepalanya dibenturkan dengan sangat kasar hendak membuat perhitungan dengan pemuda asing itu, namun aku cepat-cepat mencegatnya sambil berbisik, "dia sudah menyelamatkanmu."

Namju mengernyit tak percaya. Butuh beberapa saat hingga pemuda berambut hitam mengkilap itu akhirnya menerima penjelasanku dan dengan berat hati menelan kekesalannya.

Rainbow Mist ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang