Masa Depan yang kelam /27

1.4K 285 49
                                    

Aku mengamati gadis itu dengan cermat. Tingginya sekitar 163-165 cm, sedikit lebih tinggi dariku. Untuk usianya, barangkali sekitar delapan atau sembilan belas tahun. Yang jelas lebih tua dariku. Wajahnya terlihat lembut, namun tatapannya menyiratkan kelicikan.

"Sudah kubilang, tidak perlu. Luka mungil seperti itu nanti akan sembuh sendiri," protes Namju yang masih bersikukuh dengan argumennya. "Lagipula, proses menunggunya kering hingga melepas jahitannya akan memakan waktu dan membuat perjalanan kita tertunda." Matanya beralih pada gadis bernama Elysa itu, memandangnya dengan tatapan menggurui. "Dan kurasa akan memakan waktu lebih lama jika dilakukan oleh seorang amatir."

Baru saja kalimat yang terakhir itu terlontar, pisau buah yang tergeletak di atas meja disambar bagai kilat oleh Elysa. Dan dalam waktu singkat, ia telah berada sangat dekat di hadapan Namju dengan pisau yang menancap di sandaran sofa--tepat di pinggir leher pemuda itu hingga menggores tipis kulit lehernya.

Sementara itu, telapak kaki kirinya bertengger di bahu Namju, menyudutkan si ko-pilot hingga punggungnya terjembab ke sandaran sofa. "Kau sebaiknya berhati-hati memilih kalimat, sebab itu bisa berarti nyawamu," ancamnya dengan tatapan nyalang.

Tindakan mendadak gadis itu sontak membuat semua terperanjak. Meski begitu, fakta bahwa Namjulah yang memancing amarahnya membuat tak seorangpun dari kami berniat mencegatnya. Lagipula, Namju bisa saja mengelak dan membalikkan keadaan kalau dia mau. Tapi dia tidak melakukannya.

Namju justru tersenyum sinis. "Dan kau sebaiknya berhati-hati dengan benda ini, nona." Ia tampak tenang menjauhkan ujung pisau mini tersebut dengan jari telunjuknya, kemudian beralih menatap sepasang mata beriris ungu pucat tersebut.

Tatapannya menajam--lebih tajam dari biasanya. "Seseorang bisa terluka," lanjutnya dengan suara yang dibuat dalam, diiringi secarik senyuman agak lain yang hampir tak pernah ia tunjukkan sebelumnya.

Entah mengapa, wajah Elysa kelihatan sedikit merona. Kurasa gadis itu marah. Setelah cukup lama terpaku menatap Namju, gadis itu tersentak kemudian buru-buru menjauh dengan gelagapan.

Karena suatu alasan, Namju tertawa pelan.

Kulihat Daniel menoleh cepat pada pemuda Asia itu dengan alis terangkat, tampak kaget. "Bro, apa kau baru saja merayunya?"

Oh, ya? Jadi itu adalah salah satu teknik merayu? Konsepnya agak sulit dipahami, ya.

"Sekali-sekali," balas Namju sambil cengengesan. "Jarang-jarang, kan. Biasanya tiap hari hanya bisa ngobrol dengan dua cewek ugal-ugalan," ujarnya dengan gamblang, entah dia tak sadar kalau aku duduk tepat di hadapannya.

Merasa terpanggil, aku memelototi Namju dengan tajam saat mata kami bertemu, hingga membuat pemuda itu melarikan pandangannya.

Tanpa alasan yang jelas, Denzel yang sedaritadi hanya diam tiba-tiba saja bergerak bangkit, kemudian berjalan menuju meja bundar kecil di sudut ruangan. Semua perhatian lantas tertuju padanya. Di tengah kegelapan yang menyelubungi area tersebut, aku melihatnya mengambil sebuah apel yang terletak di keranjang kecil, lalu menggigitnya dengan tenang.

"Tadi kau bilang kalian akan melanjutkan perjalanan, kan." Ia akhirnya buka suara. Setelah menelan gigitan apel tersebut, pemuda itu pelan-pelan berbalik menghadap kami. "Kalian tidak akan kemana-mana," lanjutnya. Suaranya bergema dan penuh penekanan.

Namju sontak bangkit ke posisi berdiri dengan rahang mengeras. Matanya berkilat mengancam. Dua pemuda pemilik mata yang sama tajamnya saling menatap sinis, seakan bermaksud menembus mata satu sama lain.

"Apa maksudmu?" tanya Namju lantang, yang terdengar lebih seperti gertakan.

Aku menenggak ludah, mencoba mengusir perasaan buruk yang kian gencar menyerangku. Jantungku berdegup kencang karena dapat menebak apa yang mungkin terjadi selanjutnya.

Rainbow Mist ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang