PENAWAR/52

720 192 39
                                    

DYLAN
---

   AKU, Shafa, dengan Namju dipaksa berlutut dengan kedua tangan di samping kepala. Moncong pistol ditempelkan ke tengkuk masing-masing dari kami. Rasa dingin dari baja pistol membuat darahku surut. Lift bergerak turun menuju lantai empat, ke penjara. Lucu, padahal aku dan Shafa susah payah keluar dari sana, tapi malah kembali lagi.

   Selagi aku memperhatikan nomor lantai di atas pintu lift yang bertukar dengan teratur, bapak aneh berjambang putih itu mengoceh berkepanjangan.

   Dia dengan bangga menyatakan kami dungu, bocah-bocah banyak lagak, atau apalah sambil tertawa-tawa geli. Ocehannya yang sumbang begitu memuakkan, memekakkan telinga, tapi kami tidak menanggapinya. Dia juga menyinggung tentang Nayra, berujar bahwa gadis itu tidak banyak berubah atau semacamnya. Serta, dengan percaya diri mengutarakan bahwa salah satu dari Nayra atau Denzel akan mati dibunuh satu sama lain.

   Otot-ototku ingin sekali bergerak menerjangnya, tapi aku menahan dorongan itu. Dasar bajingan gila! Pikirnya dia sangat tahu tentang Nayra? Bagaimanapun situasinya, Nayra tidak akan sanggup membunuh Denzel. Tetapi, aku tidak yakin Denzel juga seperti itu. Kupikir lagi, yang sebenarnya dalam bahaya adalah Nayra.

   Merasa diperhatikan lama, aku menoleh sedikit ke kanan, mendapati Namju melirikku tajam. Matanya bergerak-gerak resah, seakan mengandung isyarat. Pandanganku beralih pada Shafa di sebelah Namju. Segera setelah mata kami bertemu, anak perempuan berambut ikal itu mengerlingkan matanya ke arah saku belakangnya.Tunggu, di saku belakang Shafa kalau tidak salah ada pisau, kan? 

   Rasanya seperti ada biji salak di tenggorokanku ketika menenggak ludah.

   "Tolol." Namju menjadi orang pertama yang menyahut ocehan bapak bermulut bocor itu. "Kau siapa? Lagakmu seperti tahu segala hal padahal isi ocehanmu hanya bualan."

   Aku bersiap mengambil ancang-ancang seraya mencoba berkompromi dengan detak jantungku. Seolah dikomandoi, Shafa dan aku serempak bangkit begitu Namju mendadak berbalik. Ia dengan gesit merampas pistol yang ditodongkan ke tengkuknya, sementara di saat yang sama Shafa mencabut pisaunya dan membacok dua prajurit hingga terkapar bersimbah darah. Aku menungkai kaki prajurit di belakangku, dan ketika dia jatuh aku lekas menyambar pistolnya.

   Kekacauan meledak dalam lift yang sempit. Lalu, waktu seolah membeku ketika Namju dan aku merapatkan punggung ke dinding lift, mengangkat pistol dengan satu jari di depan pelatuk, bersiap membidik tiga orang di hadapan kami yang serempak melakukan hal yang sama. Mulut pistol saling teracung dengan jemari siap siaga menekan pelatuk. Ketegangan melingkupi seisi lift, membuat udara yang sejak awal sudah pengap jadi seberat selimut.

   "Lihat situasimu sekarang ..." Bapak berjambang putih menyeringai dengan pistol bersiaga di depan dada. "Dua lawan tiga. Meski kalian berhasil menembakku, tetap saja kalian bakal mati oleh peluru yang datang bersamaan. Lift ini akan banjir oleh darah kalian bertiga."

   Keringat dingin membasahi tengkukku. Tanganku pucat oleh rasa takut ketika kengerian akan kematian membayangi benakku.

   "Lapor! D-17. Para penyusup di lobby berhasil diringkus, jumlahnya ada dua remaja laki-laki! Laporan selesai!" begitu isi laporan yang terdengar dari portofon yang tersemat di saku jaket jeans pria paruh baya tersebut.

   Dua remaja laki-laki? Tunggu, jadi penyusup itu bukan Elysa yang menyalakan alarm keamanan atau semacamnya? Oh, sekarang aku tidak bisa menahan pikiranku untuk tidak berasumsi bahwa itu Dev yang sengaja menerobos masuk untuk menjadi pahlawan kami, walau aku sudah memutuskan untuk berhenti berharap yang muluk-muluk. Shafa bertukar pandangan denganku, pastinya juga berpikiran sama. Keresahan tampak di mata Shafa. Ah, sial! Semoga itu bukan kelompok Dev.

Rainbow Mist ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang