Mataku membulat begitu melihat wujud makhluk ganas itu dengan jelas. Tingginya setara bangunan tiga lantai. Tubuh bagian atasnya dibalut bulu putih yang lebat, sementara kakinya yang panjang dan nampak kurus keriput nyaris tak berbulu. Dua taring panjang mencuat dari mulutnya.
"Go-gorila ..." gumam Dylan gemetar.
"Itu kingkong," sergah Tobio.
Namju ikut melontarkan argumen. "Bukan, itu yeti."
Apapun makhluk itu, yang jelas caranya menatap kami sangat tidak santai. Dari kebencian yang menyala-nyala di matanya, aku yakin makhluk itu tidak melihat kami sebagai makanan. Kurasa dia melihat kami sebagai ... musuh, yang harus dilenyapkan.
Beberapa detik saling bertukar pandang, gorila-kingkong-yeti itu mendadak menggeram marah, merobek keheningan malam. Sontak saja, kami bertujuh terperanjak dan langsung kalang kabut menjauh, menuntun makhluk berbulu itu di belakang--mengejar kami dengan amarah yang meledak-ledak.
Percikan air bercipratan ke segala arah saat kaki besar makhluk itu menginjak genangan air. Begitu sampai di alun-alun kota--yang setahuku disebut Red Square, Namju memerintahkan kami untuk berpencar. Tanpa banyak tanya, kami memisah dengan cepat ke tiga arah berbeda.
Dua kelompok lain kabur ke bangunan di sekitar sini, sementara aku dan Namju tetap melesat lurus ke depan. Menggiring makhluk itu bersama kami. Memang, kecepatan lari gorila-kingkong-yeti itu tak sekencang Tyran, namun satu langkah baginya setara dengan tujuh langkah kami.
Di sebuah belokan yang cukup sempit, akibat tergesa-gesa, kakiku tak sengaja menginjak gaun panjang yang kukenakan hingga membuatku jatuh tersungkur. Karena suatu alasan, Namju juga ikut terjatuh. Aku bergegas bangkit dan jantungku seakan berpesta melihat makhluk besar itu berjarak tak jauh di belakang kami, berlari tak berketentuan sambil menggeram serak.
"Namju, ayo!" Aku menarik ransel Namju yang masih berlutut--tak kunjung berdiri, bahkan setelah mengetahui makhluk itu kian mendekat.
"Namju?" Aku menaruh tanganku di punggungnya, memaksa pemuda itu untuk bangkit. Namun, mataku melebar begitu melihat telapak tangan yang sebelumnya kutaruh di punggung Namju justru berlumuran darah.
Astaga, luka robeknya menganga lagi!
Ia menatapku dengan nafas tersenggal. Wajah dan bibirnya memucat. "Pergilah ..." lirihnya sambil terbatuk.
"Kau gila!? Mana mungkin aku meninggalkanmu!?"
Melawan dorongan untuk frustasi, aku bergerak cepat mengalungkan lengan Namju di pundakku--hendak membopongnya. Tapi, baru saja aku berdiri, kakiku tiba-tiba melemas tanpa sebab. Dadaku mendadak diserang rasa nyeri akibat degup jantung yang seakan hendak mendobrak keluar. Belum selesai dengan semua ini, tanganku bergetar hebat dibarengi helaan nafas yang terputus-putus.
Menyadari makhluk itu hanya berjarak beberapa langkah lagi, keteganganku makin memuncak. Berkali-kali aku mencoba menegakkan diri, namun gagal. Sekujur tubuhku benar-benar melemas.
Suara hantaman kaki yang berat beserta bunyi percikan air memantul di kedua sisi bangunan yang mengapit kami, bergaung di gang yang sempit ini. Kengerian yang mengiris saraf terpancar di mata makhluk ganas itu.
"To ... long ..." Kucoba berteriak, namun suaraku menolak untuk keluar.
Kenapa ini?! Apa aku mati ketakutan?!
Tiba-tiba, tanpa peringatan apapun, sebuah bom dengan daya ledak ringan meledak di wajah monster itu tepat sebelum ia sempat meraih kami. Aku menunduk seraya mendekap Namju untuk menghindarkan kepalanya dari serpihan material bom yang tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow Mist ✔️
Fiksi IlmiahApa artinya kebahagiaan jika rumah--tempat hati berlabuh--tak lagi dapat digapai? Tragedi terdamparnya pesawat yang Nayra tumpangi senja itu adalah pengawal petaka. Niat menghadiri olimpiade berubah menjadi ajang bertahan hidup. Hutan trop...