Bunda /43

996 245 52
                                    

Bibi ...?

Aku melamun, terpaku pada wanita paruh baya yang memandangku dari atas titian.

Tidak, itu bukan bibi. Aku bersikeras meyakinkan diri.

"Sejak kapan kau mulai menatapku demikian, Ayrie?" ucapnya.

Suara yang lembut di samping ketegasan nadanya begitu identik dengan bibi. Itu membuatku sakit hati.

Wanita itu bukan bibi. Wanita itu bukan bibi. Aku merapalkan kata-kata kosong itu dalam hati, berharap semua ini hanya kesalahpahaman.

"Maaf, aku yakin kalian salah orang," kataku kemudian, memaksa terdengar lugas meski bibirku bergetar.

Dan kau bukan bibi, kan? Iya, kan, desakku dalam hati.

Ketegangan wajah wanita berambut hitam itu mengendur. Sorot matanya turun. "Jadi ingatanmu belum kembali, ya ..."

"Nayra, apa yang dia katakan?" Pertanyaan Namju terdengar seperti tuntutan yang mengintimidasi bagiku.

Sejumlah bantahan tak berdasar merayapi benakku, membuatku tak bisa memutuskan kalimat apa yang harus diucapkan dahulu.

Pandanganku tak beralih sedikitpun. Apapun yang hendak wanita itu ucapkan, aku hanya ingin dengar pengakuan bahwa dia adalah orang lain. Bahwa dirinya bukanlah bibi yang kukenal.

Aku menoleh ketika salah seorang pria bersenjata turun dari podium, menggendong Elysa yang tak sadarkan diri.

"Mau kalian apakan dia?" Sorot mata Namju mengikuti gadis albino itu selagi dia dibawa menuju pesawat. Dev dengan sigap mencegat Namju sebelum dia melakukan tindakan gegabah. "Kembalikan, dia--"

"Dia milik kami," tukas wanita paruh baya mirip bibi. "Begitu pula kau." Ia kembali menatapku, lalu berpindah pada Denzel. "Dan anak laki-laki itu."

Aku memandang wajah Denzel di depanku, terbaring lemas. Keraguan menyergapku begitu teringat kondisinya yang mengalami kerancuan ingatan.

"Ayrie ..." panggil wanita itu. Aku tidak menoleh, tanganku mengepal. "Aku paham kau pasti kebingungan saat ini. Tapi, satu hal yang harus kau tahu, jangan percaya ingatanmu sendiri."

"Yang benar saja." Aku mengangkat wajah, mencoba bersikap tenang. "Ingatanku sendiri lah satu-satunya yang masih dapat kupercaya."

"Tidak jika itu sudah dimanipulasi."

"Oh, ya?" Aku menyunggingkan seringai meledek. Bagaimanapun caranya, perkara 'manipulasi ingatan' ini lebih tidak masuk akal ketimbang segala hal mustahil yang kutemui. "Dan siapa yang melakukannya?"

"Kau sendiri."

Seharusnya aku tidak tertawa, sebab aku sadar ini bukan lelucon. "Lihat, kan. Leluconmu sama sekali tidak lucu," kataku sarkas.

Aku tidak menolak kenyataan. Aku hanya mengutarakan apa yang masuk akal bagiku.

"Aku tahu kau pasti merasa aneh dengan diri sendiri," lanjutnya. Dia tidak mendekat, hanya berdiri di sana bersama orang-orangnya. "Curiga mengapa dirimu bisa memahami pengetahuan yang rasanya tidak kau pelajari di sekolah, curiga mengapa tubuhmu bergerak seperti petarung terlatih. Kau merasakannya, kan?"

Jantungku menciut. Memang benar, aku merasakan itu, bahkan dari jauh-jauh hari. Tapi, aku menolak percaya karena itu tak membuktikan apa-apa.

"Kau bagian dari kami, Ayrie," tegasnya, masih dengan lembut. "Aset penting kami."

"Bukan!" Aku bersikeras, akhirnya berteriak. Semua bukti yang kujumpai hingga sekarang memang mendukung pernyataan wanita itu dan membuatnya masuk akal, aku sadar itu. Tapi, bagaimana bisa aku mengakui sesuatu yang sama sekali tak ada di ingatanku. "Aku Nayra! Nayra Nabila! Siswi SMA biasa yang tinggal di--"

"Kuningan." Selaan wanita itu melindas seluruh sanggahanku. "Nostalgia, ya, rumah sederhana cat abu-abu kita," katanya dalam bahasa Indonesia.

Aku tertegun. Perasaan kecewa membanjiriku, meluruhkan harapan yang tersisa. Dia mengucapkannya. Pengakuan yang tak ingin kudengar.

"Jadi kamu beneran ... Bibi?"

Sorot mata wanita berjas putih itu menyipit, seperti prihatin. "Rupanya banyak hal yang kau manipulasi dari ingatanmu sendiri, ya ..."

Aku melihat pandangannya beralih pada orang di belakangku. Begitu aku sadar bahwa dia memberi gestur isyarat pada salah satu rekannya, rasa perih tiba-tiba mencubit tengkukku seperti gigitan nyamuk. Sebuah jarum halus terasa menusuk kulitku. Disusul bintik-bintik gelap yang menutupi pandangan di depanku. Kemudian, dunia seperti berayun.

Aku roboh. Seseorang menangkap tubuhku, lalu kegelapan menelan segalanya.

Segala hal seperti berkedip-kedip. Denzel kecil ada di hadapanku. Kami berbincang di sudut ruang uji coba. Lebih tepatnya, hanya aku yang bicara.

"Dengar, kau sukseskan misi ini, adikmu selamat. Setidaknya itu lebih baik daripada tak tersisa seorangpun anggota keluargamu."

Rangkaian persitiwa bergulir cepat layaknya seuntai roll film. Rentetan kejadian berkelebat seperti tayangan proyeksi--aku bisa melihatnya dengan mataku sendiri.

"Maafkan aku ... Maafkan aku ..." Denzel meraung berlinang air mata, berlutut di hadapan kedua orangtuanya yang terbaring bersimbah darah.

Pintu ruang makan terbuka. Aku melihat Elysa kecil membeku di ambang pintu dengan wajah penuh teror.

Pandanganku berpindah pada pistol dengan peredam suara di tanganku yang ujungnya masih panas.

Aku seperti berpindah-pindah secepat kilat dari suatu peristiwa ke peristiwa lain. Rasa mual menyergapku.

Di pinggir jendela, aku duduk melamuni sekumpulan Tyran yang bermain di dekat tembok besar tak jauh dari kantor ini. Aku mengayunkan kakiku yang masih terlalu pendek untuk menyentuh lantai.

"Apa yang mesti diselesaikan harus diselesaikan, gimanapun caranya." Bibi menghampiriku. "Kamu bakal ngerti, Ayrie. Enggak ada yang bisa dicapai kalau kita gak mau ngorbanin sesuatu."

Aku menoleh dan mengangguk mantap. "Iya, Bunda."

Aku terperanjak bangun dalam kondisi sesak. Perutku mual dan rasa nyeri luar biasa meremas kepalaku, seolah ada lonceng besar berdentang di dalamnya.

Dev mengusap punggungku ketika aku terbatuk keras sambil bangkit ke posisi jongkok, mengabaikan kegaduhan di sekeliling.

Setiap usapan tangan Dev terasa seperti pukulan pada batinku. Nafasku tersendat.

Aku tidak pantas mendapat perlakuan baik ini.

Tubuhku bergetar. Dadaku nyeri dan mataku seperti terbakar.

Fragmen-fragmen memori bersatu di benakku. Tentang diriku sesungguhnya, Denzel, dan masa laluku; aku ingat semuanya. Sebagaimana penuturan wanita itu, ingatanku telah diusik.

Aku ... tidak pernah ditelantarkan. Sejak dulu, ibunda selalu ada, tinggal seatap bersamaku.

Butiran air mata menitik ke tanah. Seberkas jarum seperti menusuk dadaku dari dalam. Amarah, penyesalan, dan kebencian mencekik paru-paruku.

Kilas balik peristiwa di kediaman Denzel lima tahun lalu menetap di sudut otakku, menelan pikiranku seperti lubang hitam.

Aku ... telah ... membunuh orang.

TBC


Hai, mungkin ada yg penasaran (kalau enggak gpp :>)  knp chapter ini pendek aja.

Yap, jawabannya, hm... Knp ya.. Gatau sih, pengen aja, wwwwww (//ketawa ala jepang)

Oya, mungkin jurnal petualangan Nayra dkk bakal hiatus bentar. Gk lama-lama kok. Mungkin sekitar 1 atau dua minggu dlm rangka UAS.

Yg mau UAS juga SEMANGAT YAA🔥🔥 Walau daring tetap belajar! 🕐📝📚

BIG LOVE, CURIOUS_03

Rainbow Mist ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang