Aku sadar ledakan cahaya itu sudah usai ketika rasa pening luar biasa membekas di kepalaku. Napasku tersenggal-senggal, seolah aku baru saja berlari melewati beberapa dekade. Tidak, kurasa aku memang benar-benar melompati beberapa dekade. Kilatan peristiwa sebelumnya berkelebat di kepalaku ketika aku membuka mata pelan-pelan: Kabut pelangi di dalam tabung, ayah yang datang tiba-tiba, kemudian bunda yang tidak sempat kuraih.
Aku ... kehilangan satu-satunya keluargaku ...
Pandanganku buram pada awalnya, lalu ketika menegakkan kepala, aku langsung menyadari situasiku kini. Aku di dalam sebuah tabung kaca single dalam posisi berdiri. Di dalam deretan tabung kaca lain di sisi kanan dan kiriku, berjejer Dev, Shafa, dan anak-anak lain yang sama linglungnya. Ruangan di depan mataku terang dan bernuansa putih. Sekitar dua belas pasang mata mengamati kami, terheran-heran hinga ada yang terjengkang.
Awalnya aku berniat menendang pintu tabung kaca yang mengurungku, tapi ternyata gampang saja membuka pintunya--tinggal didorong dengan sopan. Kelompok peneliti yang tidak bersenjata tersebut lantas ketar-ketir melihat sembilan remaja yang entah datang dari mana dan secara mendadak keluar dari tabung. Aku masih berharap melihat sosok bunda di antara anak-anak ini sampai aku sadar bunda tidak akan kembali, sebab Rainbow Mist hanya bisa dipakai sekali jalan.
Aku ingat kata-kata bunda sebelumnya, dia ingin aku hidup tenang. Bunda mengkhawatirkanku. Pikiran itu terasa mengiris dan panas di hatiku--ia pasti menyayangiku sehingga mencemaskanku. Ia pasti masih mampu mencintai.
"Matikan Rainbow Mist," pintaku pada Galina, wanita muda berambut pucat yang menatapku panjang dari tengah ruangan. Meski sekarang rambutku berakhir di atas leher, aku tahu dia mengenalku karena kami berteman. Faktanya, semua peneliti di ruangan ini mengenalku dan seharusnya mereka mematuhiku.
Galina bergegas menghampiriku. Matanya yang cerah membelalak ketakutan saat ia bertanya, "Nona Ayrie ... Bagaimana-- Kemana saja kau?" Galina mencemaskanku. "Nyonya pergi mencarimu," ujarnya, lalu ia beralih mengamati Denzel dan Elysa. "Kalian berdua juga. Apa yang terjadi denganmu? Dan siapa orang-orang yang kau bawa ini?"
"Halo, namaku Daniel." Daniel nyelonong di antara kami, mengulurkan satu tangan pada Galina. "Kau punya ... bulu mata yang cantik," rayunya sambil mengedipkan sebelah mata.
Aku menepis lengan Daniel.
"Pokoknya, untuk sekarang kita harus mematikan Rainbow Mist." Aku beralih menuju komputer kendali pada pilar besar di tengah ruangan. Para peneliti lain hanya mengamati gerak-gerikku karena pada prinsipnya mereka patuh padaku. "Alat ini sudah menyebabkan cukup banyak kekacauan."
Aku mulai curiga ketika password yang kumasukkan salah terus, padahal seingatku aku tidak pernah merubah sandinya. "Kalian menukar passwordnya?" Aku bertanya pada Galina.
"Itu ... Tuan Stefan merubahnya."
Ayah? Pria picik itu seharusnya tidak menyentuh hal-hal yang tidak berkaitan dengan pasukan penjaga keamanan. Aku mencium rencana licik.
"Baiklah, lalu apa passwordnya?" tanyaku.
Alih-alih menjawab, Galina justru tertunduk.
"Apa?" tuntutku lagi, disertai sedikit bentakan.
Pasrah, wanita berkemeja biru muda itu akhirnya memberitahuku. Setelah menginput kata sandi yang benar, aku kembali dibuat heran ketika cap jariku ditolak oleh sistem.
"Mohon maaf, Nona, kau tidak berwenang untuk melakukan itu." Nikolai, pria jangkung dengan rambut bowl-cut yang berdiri beberapa langkah di depan Tobio, berbicara. "Selama kau dan nyonya tidak ada, seluruh sistem C.R.A diambil alih oleh tuan Stefan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow Mist ✔️
Ciencia FicciónApa artinya kebahagiaan jika rumah--tempat hati berlabuh--tak lagi dapat digapai? Tragedi terdamparnya pesawat yang Nayra tumpangi senja itu adalah pengawal petaka. Niat menghadiri olimpiade berubah menjadi ajang bertahan hidup. Hutan trop...