***
"Nayra."
Suara itu terdengar sayup-sayup, seperti gema di dalam sebuah terowongan yang panjang.
"Nayra, kau bisa dengar aku?"
Aku tak ingin menjawab. Pikiranku telah dimatikan ketika tak sanggup lagi menahan rasa sakitku. Aku takut semua itu akan kembali jika aku menyadarkan diriku. Sudut mataku menangkap seberkas sinar, tetapi aku tak sanggup membuka mata. Aku hanya diam.
"Nayra, aku Shafa. Kamu baik-baik saja? Kumohon jangan mati, teman."
Segalanya kembali berkelebat di dalam benakku. Lapangan, hutan, beruang. Tebing curam yang tak bisa didaki maupun dituruni. Satu-satunya jalan keluar yang ada adalah sesuatu yang tak pernah kami harapkan. Sesuatu yang menakutkan. Aku terpuruk putus asa.
Sambil mengerang, aku memaksa membuka mataku, mengernyit pada awalnya. Wajah tembam Shafa ada di depanku, menatap dengan cemas. Suara hembusan angin samar-samar, tak terasa, tetapi bisa kudengar. Langit biru membentang di atasku, berhiaskan gumpalan awan yang bergerak cepat. Aku merasakan rerumputan menggelitiki kulitku.
"Dia sudah sadar!" Anak itu berteriak. "Dev, Nayra sudah sadar!"
Suaranya yang sangat keras membuatku mengernyit. "Shafa, haruskah kau teriak sekeras itu? Aku pusing sekali." Aku memejamkan mata lagi seraya meringis pelan.
"Maaf, aku cuma senang sekali kau masih hidup. Masih untuk aku tidak mengambil bantal kelincimu."
"Jangan bantal kelinciku, Shafa." Aku membuka mataku lagi dan memaksa diriku duduk di atas rerumputan tempatku berbaring, menegakkan kepalaku dan meluruskan kedua kakiku.
Persendian dan otot-ototku terasa nyeri. Aku memandang ke sekeliling dan mendapati banyak orang mengerubungiku. Segunung pertanyaan yang tertahan bersembunyi di balik wajah-wajah cemas itu, menanti untuk memberondongiku. Bu Rini bersimpuh di sampingku, beliau kelihatan marah.
Dev berlari kemari dari arah hutan Selatan, menghampiriku dengan wajah kesal. Anak itu kemudian mendorong pelan dahiku dengan jari telunjuknya. "Apa yang sudah kau lakukan!" Ia berteriak di depan wajahku. "Bloody hell, lihatlah dirimu!"
Aku mengatupkan bibir, melarikan pandangan ke arah lain.
Shafa menghela napas. "Aku tidak tahu mesti menyebutmu bodoh atau gila. Diperingatkan malah pergi, duh, jiwa pemberontak macam apa, sih, yang merasukimu." Ia menyinsingkan lengan bajuku yang terkoyak-koyak di beberapa bagian, memperlihatkan goresan-goresan dan luka robek memenuhi lenganku. "Lihatlah ini, kau sudah seperti papan talenan."
Aku memperhatikan bahu kananku yang disentak rasa sakit luar biasa saat digerakkan. Bahuku dibalut sehelai kain perca putih yang tampak kemerahan karena rembesan darahku. Balutannya sangat kencang sampai-sampai membuat bahuku mati rasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow Mist ✔️
Ciencia FicciónApa artinya kebahagiaan jika rumah--tempat hati berlabuh--tak lagi dapat digapai? Tragedi terdamparnya pesawat yang Nayra tumpangi senja itu adalah pengawal petaka. Niat menghadiri olimpiade berubah menjadi ajang bertahan hidup. Hutan trop...