Tulang leherku seakan remuk ketika Denzel mencekik dan membenturkan punggungku ke tembok. Aku berusaha melepaskan diri dengan meremas pergelangannya, tapi kekuatanku hilang sepenuhnya.
"Ugh ... Den--" Suara menolak keluar dari mulutku, digantikan erangan tertahan yang menandakan tenggorokanku tercekat.
Dibalut keputusasaan, ingatanku melayang ke beberapa saat yang lalu. Ketika secara kebetulan aku memergoki Namju dengan Denzel yang tengah berkelahi di dalam lift sementara di belakangku ada Tyran yang hendak menerjang.
Aku bertolak dengan kedua tangan dan berguling ke kanan, sementara Shafa yang kaget dengan terbukanya lift langsung terjembab masuk ke dalam. Namju dan Denzel entah bagaimana berhasil keluar. Ketika separuh tubuh bagian depan makhluk itu terjebak di dalam lift yang menutup, teriakan Shafa pecah dari dalam disertai bunyi tembakan beruntun.
Aku menggenggam ekor Tyran tersebut--ekor beruang yang menjijikkan--berusaha menariknya keluar dari lift sembari menahan dorongan untuk muntah oleh kulitnya yang bernanah dan terasa lembek. Namju hendak menolong, namun dicegat oleh Denzel. Entah apa masalahnya, mereka kembali berkelahi.
"Shafa! Buka liftnya!" aku berteriak sambil mengambil ancang-ancang. "Percaya padaku!"
Begitu lift terbuka, aku lekas mengerahkan segenap tenaga unuk menarik Tyran itu keluar. Tapi, layaknya orang bodoh, mana mungkin aku sanggup memindahkan makhluk seberat itu. Sebagai gantinya, perhatian dua kepala harimau itu beralih padaku sehingga Shafa dapat merangkak keluar lift dan kabur.
"Aku bersumpah sudah menembak kepalanya beberapa kali!" sorak Shafa disela tangis. Ia mendobrak masuk ke salah satu ruangan untuk berlindung.
Memang benar, terlihat bagian di sekitar hidung dan mata makhluk itu sudah hancur ketika dia berbalik, tapi itu seolah tak berdampak apapun padanya. Aku merasakan tawa yang ganjil menggelegak dalam diriku. Evolusi? pikirku. Apa lagi yang direncanakan orang-orang gila itu?
Sol sepatuku berdecit dengan lantai ketika aku berbalik dan menghambur ke tengah perkelahian Namju dan Denzel. Dua orang itu lantas memisah saat Tyran menerjang mereka. Denzel mencabut pistolnya dan menembak. Asumsiku bahwa Tyran akan patuh pada Denzel ternyata salah; makhluk itu sepenuhnya buas.
Tak diberi kesempatan untuk tenang, suara jeritan Shafa membuat perhatianku teralih ke ruangan di seberang pilar tengah. Anak itu terseok-seok keluar, di belakangnya mengintil satu Tyran lagi yang melangkah santai. Mengetahui fakta kalau ukuran makhluk itu sedikit lebih kecil pun tidak ada gunanya, kan. Kami tetap akan dikoyak-koyak seperti daging ayam yang dilempar ke kandang harimau. Tunggu, satu pikiran melintas di benakku. Apa memang itu guna kami sekarang?
Shafa menghampiriku dengan sebelah tangan luka parah, darah segar meluas dari lengan bajunya. Aku mencabut pisau dari saku belakang dan melontarkannya ke Tyran yang membuntuti Shafa. Makhluk itu kelihatan bimbang ketika mata pisau menancap di dahinya, tapi tetap bergeming seolah tak berdampak apapun.
"Hey, tombolnya banyak sekali!" Suara yang agak kabur masuk dari portofon di saku Shafa. Suara Dylan.
Seberkas perasaan lega terbit di dadaku begitu tahu anak itu berhasil sampai di tempat yang kuminta.
"Yang mana yang harus kutekan?" ujarnya lagi ketika Shafa meraih handy-talkie tersebut.
"Terserah! Ah, pokoknya tekan saja tombol yang menurutmu bisa menolong kami!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow Mist ✔️
Science FictionApa artinya kebahagiaan jika rumah--tempat hati berlabuh--tak lagi dapat digapai? Tragedi terdamparnya pesawat yang Nayra tumpangi senja itu adalah pengawal petaka. Niat menghadiri olimpiade berubah menjadi ajang bertahan hidup. Hutan trop...