Serpihan Ingatan /32

1.4K 276 44
                                    

Author's POV

Lilin besar yang terpasang di sisi kanan pintu masuk berkelebat, seolah merasa gelisah dengan ketegangan yang merayapi udara.

Pandangan Dev mengeras sementara kedua tangannya terangkat di samping kepala. "Sepertinya aku kurang paham ada apa ini," katanya.

Pemandangan ini jelas agak rancu dilihat; Elysa disandera anak buahnya sendiri. Mengingat gadis itu adalah orang nomor dua di distrik ini, rasanya agak berlebihan jika mengatakan bahwa mereka menyandera Elysa hanya karena dia kerap mengusili orang-orang. Tidak, rasanya bukan itu motifnya.

"Bukan urusan kalian, kunyuk-kunyuk kecil!" tukas pria paruh baya berbadan tinggi besar. Senapan serbu di gendongannya berkilap-kilap diterpa cahaya lilin. Dia adalah pria berkulit cokelat yang pernah berkelahi dengan Nayra di ruang bawah tanah saat pertama kali sampai di tempat ini.

"Jangan ikut campur!" sahut lelaki lain dari tengah ruangan.

Si pria berkulit cokelat kemudian berteriak, "Denzel Vance Pendryko! Keluar kau, sialan!" Suaranya terdengar bengis, diliputi amarah.

Shafa yang tengah merapat ke Dev menautkan alisnya, merasa heran. Ada masalah apa orang-orang ini dengan pemimpin mereka? Apa ini semacam kudeta atau persekongkolan? pikirnya.

"Kemari atau nyawa adikmu melayang!" teriaknya lagi. Suaranya yang berat dan lantang menggelegar di udara.

Keheningan yang mengikuti teriakannya terasa agak ganjil. Sedetik setelahnya, semua orang di ruangan terperanjak. Lilin besar di dekat pintu masuk--satu-satunya penerangan--mendadak padam. Menelan seisi ruangan dalam kegelapan yang mencekam.

Dev tersentak saat merasakan seseorang melesat cepat melewatinya. Diikuti bunyi gebukan dan rintihan dari berbagai tempat di ruangan, terdengar bunyi tubuh yang susul-menyusul ambruk ke lantai. Shafa meremas lengan baju Dev, merasa nafasnya tercekat tiap kali mendengar suara itu.

Sepuluh detik kemudian, suara gaduh itu berhenti dan lilin kembali menyala. Mata Dev melebar begitu mendapati Denzel berdiri tenang tak jauh di sebelahnya dengan pemantik api di tangan. Cahaya lilin yang menari-nari membuat bola mata pemuda berjaket denim itu tampak berkilat kemerahan.

Kondisi ruangan berubah hanya dalam sepuluh detik. Kumpulan orang bersenjata yang tadi menantangnya sudah tergeletak tak berdaya di lantai. Menyisakan lima anak yang berdiri melongo serta adik perempuannya yang masih dalam kondisi terikat.

Denzel bergegas menghampiri Elysa, merogoh sebilah pisau lipat dari sakunya, kemudian menggesekkan benda tajam itu ke tali yang mengikat adiknya.

"Kau baik-baik saja, dik?" tanyanya selagi berusaha memotong ikatan tersebut.

Elysa tidak menjawab. Pandangannya kelam, menatap lurus ke depan. Baru saja ikatannya terlepas, gadis itu tiba-tiba menarik kampak yang tergeletak di lantai dan mengayunkan sendingnya ke wajah Denzel. Menghantam dahinya sangat kuat. Peristiwa itu berlangsung begitu cepat, mengejutkan lima anak yang menyaksikan.

Denzel terhuyung-huyung hingga akhirnya jatuh tersungkur. Darah mengalir di keningnya, menitik ke lantai.

Dengan santai, Elysa bangkit ke posisi berdiri seraya menepuk-nepuk roknya. "Seperti biasa, kau tidak pernah belajar, ya. " Ia tersenyum.

Begitu anak-anak lain bergegas menghampiri Denzel yang sempoyongan seperti orang mabuk, Elysa beralih ke arah jendela di sisi kanan.

Tobio mencoba menangkap gadis itu, namun ia tidak sempat melakukannya. Elysa sudah meluncur menuju bangunan sebelah menggunakan sebuah katrol yang melesat kencang di rentangan kabel baja.

Rainbow Mist ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang