"Ini gila ..." Dylan mengoceh selagi mengeluarkan beberapa setel baju dari rak penyimpanan dan menimbang-nimbang mana yang cocok. "Aku masih belum percaya kita ada di Rusia ..."
Aku menyibak tirai berwarna kusam dan melangkah keluar dari ruang ganti. "Oke, Dylan, kita sudah membahas ini tadi. Please, jangan memancing perdebatan yang melelahkan lagi," kataku jenuh.
Aku melirik cermin berdebu di ujung sana, mengamati sekilas pantulan diriku yang tampak konyol dalam balutan gaun putih panjang. Alisku bertaut. "Aku juga tidak suka yang ini ..."
Saat ini kami berada di toko outfit pernikahan, mencari pakaian apapun yang dapat mengganti bawahan masing-masing yang basah akibat genangan air. Semua baju milik kami juga belum kering sehabis hujan tadi, termasuk pakaian cadangan dalam tas.
Jangan tanya kenapa kami pilih toko ini. Baiklah, alasannya karena toko pakaian lain terletak di lantai atas gedung, sementara kami terlalu lelah dan kelaparan untuk mendaki anak tangga.
Daniel, Tobio, dan Namju serempak mendongak saat aku menuruni tangga kecil ke ruangan bawah, dimana mereka yang selesai berdandan selonjoran santai di sofa berdebu.
"Kenapa lihat-lihat?" tanyaku sinis. Biar kutekankan, aku benci diperhatikan.
Daniel mengamatiku dari bawah ke atas. "Whoa ..." Senyumnya merekah. "Luar biasa, kau punya aura seorang ratu." Dia mengacungkan jempol.
Bibirku menekuk,menatap tidak senang. "Kalau kau mau meledek, terus terang saja," protesku seraya menyilangkan lengan di dada.
Tobio tergelak. "Hei, Niel, sudahlah ... Sebaiknya kau cari perempuan yang benar-benar perempuan saja nanti."
"Ha?" Aku beralih melirik Tobio. "Asal kau tahu, kebanyakan perempuan risih dengan pujian lelaki. Khususnya menyangkut penampilan."
"Dengan rambut lepek dan wajah kucel seperti itu, kau lebih mirip pengantin wanita menyedihkan yang gagal menikah," serobot Namju sarkas, yang kubalas dengan lirikan sinis. Meski begitu, sejujurnya komentar seperti itu lebih enak didengar bagiku pribadi.
Semua menoleh saat Dev muncul dari ruangan atas dengan setelan jas putih rapi--mirip yang dikenakan anak-anak lain. Tetapi, entah kenapa setelan jas itu memberikan kesan berbeda bagi Dev. Alih-alih tampak seperti pengantin pria, pemuda itu justru terkesan seperti seorang pangeran. Pangeran sungguhan, maksudku.
Tidak berlebihan jika kukatakan auranya kuat sekali. Kami yang menyaksikan bahkan kehilangan komentar.
Rambut pirang yang sedikit basah disisir rapi dengan model poni dirapatkan ke samping, membuat wajah Dev sedikit berbeda.
Semua mata mengikutinya ketika pemuda bermanik hazel itu turun dari tangga. Empat pasang mata terpana, diliputi ketakjuban.
Itu sebelum Dev tiba-tiba hilang keseimbangan hingga tergelincir dan jatuh terjengkang ke lantai. Posisi akhirnya sungguh tidak elit.
Sungguh mengagumkan bagaimana suasana berubah dalam sekejap. Semua bibir terkatup, menyisakan keheningan yang canggung. Raut-raut wajah berubah drastis; dari berbinar-binar diliputi kekaguman justru berubah lesu.
Kami berempat mengernyit kecewa.
"Uh ... gagal keren," celetuk Daniel.
Dev melompat bangkit seraya berpaling. "Shut up," katanya kemudian.
Tak berselang lama, Shafa dan Dylan turun dari ruangan atas. Telah rapi dengan gaun dan setelan putih yang terkesan berkelas--kalau dikenakan di situasi yang tepat. Sayangnya, mengingat kondisi yang kami hadapi sekarang, pakaian serba putih ini justru kelihatan konyol.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow Mist ✔️
Ciencia FicciónApa artinya kebahagiaan jika rumah--tempat hati berlabuh--tak lagi dapat digapai? Tragedi terdamparnya pesawat yang Nayra tumpangi senja itu adalah pengawal petaka. Niat menghadiri olimpiade berubah menjadi ajang bertahan hidup. Hutan trop...