Titik Gelap /49

704 191 23
                                    

Kerikil yang kulempar kesekian kalinya melontar cukup jauh sebelum akhirnya tenggelam. Aku menarik napas, tekanan di dadaku mulai berkurang.

Aku bisa melewati ini sendiri, gumamku dalam hati.

Mungkin kepribadianku memang seburuk itu hingga seumur hidup lebih banyak orang yang pergi daripada yang menetap di sisiku, tapi itu bukan hal yang perlu diratapi, kan.

Datang dan pergi itu adalah hak masing-masing individu.

Ketika berdiri, sesuatu jatuh dari saku jaketku: Kerikil biru laut yang diberi Dev. Seketika rasa kesal dan sakit hati kembali memenuhi dadaku.

Astaga ... Siapa yang kubohongi? Tentu aku tidak rela anak-anak itu pergi begitu saja. Mereka berhutang permintaan maaf karena meninggalkanku di saat-saat krisis.

Otot-ototku memaksa ingin melempar kerikil itu jauh-jauh, tapi aku mengurungkan niat dan dengan berat hati menaruhnya lagi ke dalam saku.

Matahari kian meninggi, namun tak lantas menghangatkan gundukan salju yang menggunung di setiap sudut.

Aku mengamati sejenak bentangan air asin di hadapanku sebelum kembali ke atas. Tetapi, berkas-berkas cahaya matahari yang berkilau di air tiba-tiba melintaskan sebersit ide di benakku.

Berlari antusias ke atas, aku segera bersorak mengutarakan pikiranku pada Shafa dan Dylan. "Guys, aku baru kepikiran sesuat--" Namun, bahuku merosot saat tidak menemukan mereka berdua dimanapun. Tidak pula dengan Jeep kami.

Angin laut membawa aroma matahari dan sepoi-sepoi yang menelusupkan suasana sepi ke dalam batinku.

Aku ... benar-benar ditinggal sendiri ..?

"Nayra!"

Suara Shafa dari arah belakang langsung membuatku berbalik. Kecemasan terangkat dari pundakku melihat ia dan Dylan muncul dari arah berlawanan dengan laut, membawa tiga tabung udara dan seperangkat alat selam.

Dylan menghisap permen tangkai sambil melambaikan-lambaikan masker di tangannya. "Kami dapat ide!" Ia bersorak.

Mataku memanas, dengan spontan aku berlari dan langsung memeluk mereka. Aku masih punya rekan ... disini.

"Nayra, hey, kenapa kau ini?" Shafa meronta.

"Syukurlah ..." Aku menghela napas, mengeratkan rangkulan. "Kukira kalian juga meninggalkanku."

---

"Ngomong-ngomong, kalian dapat ini pakai apa?" aku bertanya selagi memeriksa perlengkapan selam yang mereka bawa dari perkampungan pelaut tak jauh dari pantai.

Hanya ada tiga stel drysuit, fin, masker, serta tabung oksigen tua ukuran kecil. Oh, dan sebuah senter. Tidak ada BC (semacam jaket yang dapat dialiri udara), padahal itu salah satu perlengkapan penting.

Tak kusangka kami bertiga punya pemikiran yang sama: Mencari keberadaan markas itu di dalam laut. Tanpa pemandu dan skill diving, hal ini terkesan nekat.

"Kami tukar dengan Jeep kita." bahu Dylan terangkat. Shafa mengiyakan sambil menyodok kaleng berisi selai kacang.

Aku memijit pangkal hidung. "Bagus ... jika ini gagal, kita mendaftar saja jadi penduduk kampung itu," keluhku.

Saat mengecek pressure gauge, oksigen yang tersisa di salah satu tabung kurang dari setengah. Keraguan menyergapku, kerongkonganku kering saat menenggak ludah.

---

Dylan terjun duluan ke air, memastikan kondisi, sementara aku dan Shafa yang sudah dibekali alat selam menunggu di perahu. Gulungan tali yang terhubung pada Dylan berputar-putar, makin lama makin kecil.

Rainbow Mist ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang