Adu Senjata /42

948 248 60
                                    

Aku membelalak. Degup jantung dan suara teriakan memenuhi telingaku.

Namju berjalan ke tengah arena, mengenakan bot selutut yang dililiti sabuk dan tali pengencang. Baju zirah berbahan kulit membalutnya dari pinggang ke atas, hitam mengkilap, tanpa lengan--mengekspos otot lengannya. Dua sabuk besar terselempang erat di pinggang dan dadanya.

Gelang kulit melilit punggung tangan hingga pergelangan Namju, berikut sepasang logam bundar pelindung bahu. Tampak sehelai kain merah melingkar di lehernya dan menjuntai ke belakang pundak kiri, jatuh hingga betis.

Aku seperti menyaksikan sosok petarung gladiator di era viking, terlebih lagi melihat tameng besi berikut kampak raksasa di kedua tangan Namju--aku yakin diriku tak sanggup mengangkat benda-benda itu.

Namju melirik tajam pada barisan penonton, seolah menyuruh mereka diam, atau tepatnya menantang semua mata yang dilihatnya.

Andai sekarang aku ada di tribun, aku mungkin akan melompat ke tengah arena, menjewer telinga pemuda itu, dan menyeretnya keluar dari tempat konyol ini.

"Namju! Hey!"

Sia-sia saja berteriak. Jarak kami terlalu jauh, dan keributan membuat teriakanku tak lebih dari bunyi lalat. Kucoba berteriak lebih keras, tetapi suaraku tenggelam begitu pembawa acara mulai bicara, menggebu-gebu di pengeras suara.

"Nah, datang dari blok B, juga penantang baru, sang petarung muda dengan kecepatan fenomenal ..."

Pintu ganda di sisi kiri terbuka. Seluruh perhatian segera menyorot petarung yang keluar dari sana.

Jantungku kembali diremas pada detik pertama aku melihatnya.

Itu Dev!

"Mari kita sambut ... si kilat emas!"

Anak laki-laki jangkung itu berjalan percaya diri ke tengah arena. Ia melambai-lambai, menambah semangat penonton.

Apa orang itu benar Dev yang kukenal?

Tingkahnya memang agak beda, tapi rambut keemasan dan poni yang nyaris menyentuh mata kanan, itu memang seratus persen Dev.

Dia tampak santai mengenakan kaos oblong lengan panjang dibalut rompi kulit keras sebagai pelindung dada.

Tidak terdapat pelindung bahu atau pengaman lain di tubuhnya. Bahkan Dev tidak memakai tameng. Sebagai gantinya, ia membawa sepasang pedang perak lancip yang terbilang lumayan kecil.

Tidak seperti Namju, Dev, anehnya, malah terlihat tenang. Terlalu tenang untuk situasi semacam ini, kecuali dia telah merencanakan sesuatu.

Namju bersorak pada Dev, ekspresi kaget kentara di wajahnya. Yang artinya, pemimpin kami itu tidak tahu menahu tentang ini.

Tak ada tanggapan dari Dev.

Suara-suara penonton mendadak padam ketika Namju menjatuhkan tameng serta senjatanya dan bergerak menghampiri Dev.

Semua orang di tribun melongo heran, saling berpandangan sambil berdesas-desus.

Aku mengusap kening, frustasi. Udara dingin, tapi bulir keringat mengalir dari sela-sela rambutku.

Ini gila. Ini benar-benar gila. Bagaimana bisa dua pemuda yang jarang akur itu malah terjebak di turnamen mengenaskan ini. Sementara aku, justru menganga bisu di ruangan bau peluh ini dengan sehelai syal di tangan.

Belum lagi anak-anak lain ketemu, aku justru dihadapkan dengan situasi merepotkan ini.

Sebenarnya kemunculan mereka cukup menguntungkan karena aku tak perlu repot-repot mencari, tapi tetap saja, situasi semacam ini bakal berujung masalah.

Rainbow Mist ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang