Bagian 20

11K 967 171
                                    


Aska membuka gerbang rumahnya. Memutar pandangan ke arah garasi yang terbuka. Dia tidak melihat mobil kakaknya terparkir disana. Mungkin kakaknya masih di sekolah. Pasalnya jam masih menunjukkan pukul satu siang. Atau mungkin kakaknya masih sibuk dengan kegiatan basketnya. Mungkin saja.

Aska baru saja pulang dari rumah sakit siang ini. Dia tidak akan berlama lama di tempat itu. Selain tidak menyukai bau obat obatan, Aska juga tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit jika saja dia harus menginap beberapa malam lagi.

Terhitung sudah empat hari Aska bolos sekolah. Sudah banyak sekali dia ketinggalan pelajaran. Tidak hanya itu, ini juga hari keempat Aska bolos bekerja. Entah bagaimana nasib pekerjaannya saat ini. Mungkin saja dia sudah dipecat karena sudah terlalu lama tidak masuk tanpa memberi kabar.

Oh iya soal Zidan, temannya itu sama sekali tidak ada menghubunginya. Biasanya kalau Aska tidak masuk sehari saja hpnya sudah penuh dengan pesan pesan Zidan. Tapi ini sudah empat hari tidak ada kabar darinya. Apakah temannya itu sakit? Aska lantas menghentikan langkahnya sebelum sampai ke teras rumah. Dia mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Zidan. Panggilannya terhubung tapi tidak diangkat. Apakah dia sibuk? Oh mungkin saja. Sepertinya Aska harus sekolah besok.

"Dari mana lo?"

Aska menutup pintu perlahan dan mengarahkan pandangan ke arah tangga. Terlihat Delvin sedang menuruni tangga dan menatap Aska tidak suka. Sepertinya dia baru pulang sekolah terbukti seragam yang masih melekat di tubuhnya.

Tidak menjawab pertanyaan si penanya, Aska lebih memilih menatap Delvin yang berjalan ke arahnya.

"Masih berani pulang ke rumah?", Tanyanya lagi dengan pandangan sinis ke arah Aska. Berlagak menjadi orang yang paling berkuasa di rumah ini.

Aska hanya diam. Tidak berniat menjawab pertanyaan yang dilontarkan Delvin barusan. Lebih tepatnya tidak tahu harus menjawab apa. Bersuara pun juga tidak ada artinya.

"Gak bisa ya lo berhenti nyusahin kak Arka?", Masih setia dengan nada sinisnya.

" Kak Arka dimarahin sama oma semalam. Masih sama, alasannya karena lo!", Ujarnya lagi tanpa mengetahui perasaan lawan bicaranya.

Seketika perasaan bersalah kembali hinggap di hati Aska. Dia juga tidak tahu harus melakukan apa. Kenapa selalu saja perasaan orang lain yang harus jadi prioritasnya. Tanpa dia sadari  tidak ada seorang pun yang mau memahami perasaannya. Bahkan dirinya sekalipun.

"Maaf", Aska akhirnya buka suara.

Delvin terkekeh "Minta maaf? Sama gue?", Tanyanya sinis. "Minta maaf tuh sama orang orang yang lo susahin terus", seloroh Delvin.

"Tapi tunggu, emang dengan kata maaf lo bisa balikin kebahagiaan keluarga ini?"

Aska menundukkan kepalanya dalam dan lebih memilih menatap lantai. Berusaha menahan luapan emosi di depan Delvin. Selalu saja apa yang dikatakan Delvin telak mengenai hatinya. Tidak bisa membiarkan Aska untuk membela diri sedikit saja.

Sementara itu Delvin masih menatap sinis ke arah Aska. Entah kenapa perasaan tidak sukanya pada Aska semakin hari semakin bertambah saja. Apalagi melihat kakaknya yang seperti sudah mulai peduli pada Aska.

Mengingat kebenaran tentang Aska yang tidak sengaja Delvin dengar beberapa hari yang lalu, dia lantas tersenyum smirk. Alasan yang selalu dia pertanyakan selama ini terjawab sudah dengan sendirinya. Aska bukan bagian dari keluarga ini. Itu adalah kata kuncinya.

Delvin tidak mengelak bahwasannya nasib Aska sama saja dengannya. Tapi tolong diingat dia masih jauh di atas Aska. Setidaknya dia masih dilimpahi kasih sayang oleh keluarga barunya ini.

ASKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang