Aska mengerjapkan mata perlahan sebagai tanda kalau dia masih belum percaya apa yang dia dengar barusan. Mengelus dadanya yang masih saja berdetak terlalu cepat. Entah perasaan bahagia atau takut yang dia rasakan saat ini.Memilih duduk di kursi di samping pintu, Aska masih belum berani masuk ke dalam. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Dia tidak tahu reaksi apa yang akan dia berikan pada mamanya.
Terakhir bertemu dengan mama sekitar lima tahun yang lalu. Semenjak kepergian ayah tercinta. Pada saat itu Aska hanya diam saat semua menyalahkan dia atas kepergian ayahnya. Apalagi mamanya, sangat tersirat kebencian begitu dalam setiap dia menatap mata Aska.
Aska tidak pernah lupa berdoa, sebelum dia pergi dari dunia ini, dia ingin sekali bertemu dengan sang mama. Ingin merasakan bagaimana di tatap dengan penuh kasih sayang oleh mama. Ingin merasakan pelukan hangat mama sekali saja. Hanya sekali. Itu sudah sangat cukup bagi Aska.
Memilih berdiri dan melangkahkan kaki membuka pintu perlahan. Aska akan bersikap seperti biasanya. Bersikap seolah tidak terjadi apa apa.
Suara dari arah pintu mengusik mereka yang tengah melepas kerinduan dan menoleh ke arah sumber suara. Tawa yang mengisi ruangan seketika berubah menjadi hening.
Deg. Wanita berkepala empat itu tersentak. Benar, itu mamanya Aska, Hanna. Disana dia bisa melihat seorang remaja yang masih mengenakan seragam sekolahnya sambil menatap ke arah mereka. Itu putra keduanya. Tunggu, putranya? Tidak tidak. Hanna tidak pernah menganggap seperti itu. Hanna masih belum mengalihkan pandangannya. Dia sudah besar rupanya. Dia sudah tumbuh menjadi remaja yang tampan sama halnya dengan Arka.
Seketika tatapannya berubah menjadi datar saat melihat Aska mengulas senyum ke arahnya. Hanna sangat benci senyum itu. Sampai detik ini dia bahkan sangat membencinya. Setiap melihat senyum Aska seolah dia mengatakan baik baik saja, Hanna selalu teringat dengan asal muasal anak itu hadir di keluarga ini. Orang terkasihnya pergi meninggalkannya untuk selamanya. Suaminya pergi karena anak itu. Hanna tidak akan terima sampai saat ini. Tidak akan pernah.
Sementara itu, Arka masih terdiam sama halnya dengan Delvin. Dia juga tidak tahu harus bereaksi seperti apa saat ini.
Aska yang tadinya mati matian berusaha bersikap baik baik saja perlahan melunturkan senyumnya saat mendapati mamanya yang menatap benci ke arahnya. Dia terkekeh miris di dalam hati. Ternyata masih sama. Tatapan yang diberikan mamanya masih sama. Aska saja yang terlalu berharap sepertinya. Dia harus lebih berusaha lebih keras lagi.
Melihat reaksi orang orang yang sepertinya terganggu dengan kehadirannya, Aska memilih melangkahkan kaki ke arah tangga. Dia tidak akan merusak momen momen kekeluargaan mereka. Mengesampingkan egonya bahwa dia masih ingin menatap wajah sang mama untuk menyalurkan kerinduan yang begitu dalam.
Sepeninggal Aska, suasana masih sama hening sampai Delvin mengalihkan pembicaraan.
"Mama belum makan kan? Pasti capek banget ya ma perjalanannya? Nanti aku pijitin deh ma", Ujar Delvin mencairkan suasana lalu merangkul sang mama berjalan ke arah dapur."Anak mama baik banget sih", balas Hanna sambil mengelus pipi Delvin. Berjalan ke arah dapur.
Sementara itu, Arka masih terdiam dengan pikirannya. Dia bisa melihat bagaimana adiknya berusaha terlihat baik baik saja. Bagaimana tubuh ringkih itu berjalan pelan menaiki tangga. Ingin menghampiri, namun Arka rasa dia tidak perlu melakukan itu. Tapi kenapa hatinya seperti ikut merasakan apa yang tengah Aska rasakan? Sepertinya Arka perlu menemui Aska nanti.
***
Minggu pagi, Aska melangkahkan kaki ke luar kamar. Berniat mengambil air putih untuk meminum obatnya. Setiba di dapur, Aska tidak melihat atensi mamanya ataupun kakaknya. Kenapa sepi sekali?, Batinnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ASKA
Teen FictionSemua orang punya batas kesabaran masing-masing bukan? *** Hai hai selamat datang di cerita pertamaku Masih belajar😊 Jangan lupa follow dulu yaa Vomentnya jangan lupa Don't copy paste my story!! Ini murni dari imajinasiku ya😉😊 Happy reading✨