Bagian 25

11.5K 1K 246
                                    


Lima menit berlalu yang hanya diisi oleh keterdiaman keduanya. Disana, di depan pintu kamar yang masih terbuka, Aska menatap takut ke arah Hanna. Lidahnya kelu walau hanya untuk mengeluarkan sepatah kata. Tidak percaya bahwa seseorang yang tidak pernah menerima kehadirannya selama ini berdiri tidak jauh dihadapannya. Menatapnya lama. Oh Tuhan, apakah Aska bermimpi saat ini?

Tunggu, apa yang dilakukan mamanya disini? Apa Hanna ingin menemuinya?

Berusaha menormalkan ekspresinya, Aska berjalan pelan mendekati Hanna "Mama... Ada apa?"

Aska berusaha menahan suaranya agar tidak bergetar. Sungguh dia dilanda kecemasan saat ini. Takut akan luka baru yang akan dia terima lagi.

Tidak mendapatkan jawaban, Aska melangkahkan kaki perlahan ke dalam kamar. Berdiri di depan Hanna yang masih belum bersuara. Memberanikan diri untuk menatap mata Hanna.

Aska mendapati tatapan berbeda dari Hanna saat ini. Bukan tatapan tajam yang biasa dia layangkan. Hanna hanya menatap kosong ke arah Aska. Tidak ada emosi yang Aska rasakan kali ini.

Entah apa yang ada dipikiran Aska saat ini, berjalan lebih dekat dan dalam persekian detik Hanna terlonjak kaget saat mendapat pelukan tiba-tiba. Aska memeluknya. Erat sekali. Tunggu, kenapa rasanya seperti ini? Hatinya menghangat menerima pelukan putranya. Masih dengan keterkejutannya Hanna tidak membalas, tapi satu tetes air mata tiba-tiba meluncur di pipinya.

Sementara itu, Aska berusaha menahan tangisnya sejak tadi. Katakanlah Aska bodoh sudah berani bertindak seperti ini. Tapi Aska tidak bisa berpikir lagi. Dia hanya ingin merasakan bagaimana pelukan seorang ibu. Makanya, untuk pertama dan terakhir izinkan dia egois satu kali saja.

Walaupun tidak mendapatkan balasan, Aska tersenyum tipis. Tidak apa apa. Hangat, ternyata ini yang dirasakan oleh kakaknya dan Delvin selama ini. Aska suka. Bolehkah Aska merasakan ini untuk waktu yang lebih lama? Tidak tidak, dia tidak boleh egois. Bisa memeluk Hanna saja dia sudah sangat bersyukur.

Terlalu asik dengan pikirannya sendiri, Arka terkejut saat Hanna melepas paksa pelukannya dan mendorong kuat tubuh Aska hingga Aska mundur beberapa langkah.

Selanjutnya Hanna hanya melewatinya saja dan berlalu pergi. Aska menundukkan kepalanya lalu tersenyum miris. Ternyata masih sama, sakitnya masih sama.

Aska lantas membalikkan tubuh dan berniat menutup pintu kamar, lagi lagi Aska dikejutkan dengan kehadiran Ratih yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Menatap dia dengan pandangan tidak suka. Sejak kapan omanya berdiri disana?

Berjalan perlahan tapi langkahnya terhenti saat mendengar kalimat menyakitkan dari mulut Ratih.

"Jangan terlalu berharap lebih! Keluarga ini baru akan memulai kebahagiaan tanpamu. Jangan mengacaukannya seperti yang sudah kamu lakukan sebelumnya", setelahnya Ratih berlalu pergi tanpa memikirkan perasaan lawan bicaranya.

Mengunci pintu, tubuh Aska langsung luruh jatuh terduduk. Menenggelamkan kepala di atas lipatan tangan di atas lutut yang ditekuk. Sakit sekali. Dia sudah sering mendapatkan kalimat seperti itu, tapi kenapa malam ini rasanya berkali lipat lebih menyakitkan?

Air mata yang Aska tahan sejak tadi tumpah sudah. Hatinya terlalu sakit. Dia tidak bisa untuk baik baik saja saat ini. Selanjutnya hanya isakan memilukan yang terdengar di dalam kamar pemuda itu.

***

Sesampai di sekolah yang Aska lakukan hanya duduk di bangkunya dengan pandangan kosong. Akhir akhir ini dia memang sering sekali melamun. Entah itu di rumah ataupun di sekolah.

Aska menatap tangannya yang di letakkan di atas paha. Punggung tangannya lecet karena sempat diserempet motor kemarin. Memang salah Aska karena tidak hati hati. Menyebrang dengan pandangan kosong.

ASKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang