Bagian 12

9.2K 911 82
                                    


Aska menatap kosong ke arah luar jendela yang ada di kamarnya. Pikirannya melayang pada kejadian barusan. Sesak. Bahkan sesak sekali rasanya diperlakukan seperti itu oleh keluarga sendiri. Aska tertawa miris. Keluarga? Apakah benar dia bagian dari keluarga ini. Sepertinya hanya Aska saja yang berpikir demikian.

Lama dengan lamunannya, kemudian pandangannya beralih pada tas yang masih tergeletak di depan pintu. Tanpa pikir panjang Aska lantas melangkahkan kaki mengambil tabung yang berisi pil pil penunjang hidupnya saat ini. Mungkin kalau Aska tidak menelan pil pil ini apakah dia bisa bertahan sampai sekarang? Aska rasa tidak.

Tidak lama kemudian dia melempar asal tabung obat yang berisi pil pil pahit itu sehingga berceceran di lantai. Aska menggelengkan kepalanya kasar. Dia tidak butuh itu. Aska hanya ingin di anggap ada oleh orang orang terkasihnya. Aska hanya ingin diperlakukan seperti keluarga pada biasanya. Melihat perlakuan neneknya pada Delvin yang bahkan tidak sedarah dengan keluarganya membuat Aska iri. Dia juga ingin diperlakukan seperti itu. Kenapa sulit sekali rasanya?

Perlahan tubuhnya merosot pada dinginnya dinding kamar. Tangannya beralih mencengkram dadanya yang mulai berdetak tidak normal. Aska tidak bisa membedakan sakit mana yang dia rasakan saat ini. Terlalu sakit bahkan untuk sekedar menarik napas saja dia kesulitan.

Rasanya sakit yang dirasa tidak dapat lagi dia tanggung sendirian. Aska butuh pelampiasan.

Persetan dengan alasannya bertahan sampai saat ini. Dia lantas melangkahkan kaki ke arah ranjang. Membuka nakas lalu mengambil benda yang selama ini tersimpan rapi tanda belum pernah digunakan sebelumnya. Tanpa pikir panjang Aska mengarahkan silet itu ke pergelangan tangannya. Belum sempat benda itu beradu dengan tangan kurusnya, Aska tersadar. Tidak tidak. Dia lalu melempar asal silet yang dia pegang. Aska masih bisa bertahan tanpa melakukan hal bodoh itu bukan? Aska masih kuat. Iya, Dia yakin dia bisa. Sugestinya pada diri sendiri.

***

Pagi ini Zidan sudah dibuat pusing tujuh keliling oleh Aska. Bagaimana tidak, dia masih belum menampakkan batang hidungnya sedari tadi. Ini bahkan sudah hampir bel tapi temannya itu entah kemana. Ditelpon juga tidak diangkat.

Seketika pikiran pikiran buruk terlintas di benaknya. Apa jangan jangan Aska.. Zidan menggelengkan kepalanya kasar. Dia tidak boleh berpikir aneh aneh. Sepertinya dia harus menemui Arka nanti.

Sementara itu Aska masih menatap kosong nisan yang ada di hadapannya. Dia masih belum bersuara sejak dia datang kemari. Terhitung sudah dua jam dia hanya duduk diam dengan pikiran yang melayang entah kemana.

Kerinduan untuk mengunjungi sang ayah sudah tidak tertahankan lagi dan lebih memilih bolos hari ini.

Aska menggerakkan tangannya untuk membersihkan rumput yang sudah mulai memanjang. Tak terasa setetes air mata jatuh pada tanah tersebut. Aska langsung menghapusnya. Dia tidak boleh lemah. Dia kesini bukan untuk mengadukan keluh kesahnya. Dia hanya ingin melepaskan kerinduannya.

"Ayah, maaf Aska baru datang hari ini", ujar Aska. Tangannya masih setia membersihkan rumput di hadapannya.

"Ayah tau, Aska rindu Ayah. Sangat", ujarnya dengan nada sarat kerinduan yang begitu dalam.

Hening menyapa "Ayah pasti bahagia disana kan? Aska juga bahagia disini ayah", ujarnya pelan. Kenapa dadanya masih saja sesak?

Aska perlahan memegang dadanya perlahan "hanya saja dia sering kali berulah akhir akhir ini ayah", adunya perihal sakitnya yang sering kambuh belakangan ini.

"Tapi ayah tenang saja, Aska bisa mengatasinya kok.", ujarnya berusaha tersenyum. Dia harus terlihat kuat bukan? Sakit ini sudah biasa dia terima, bahkan teramat sering.

ASKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang