"Ka, lo sakit?", Tanya Zidan khawatir. Bagaimana tidak, sejak masuk kelas pagi tadi, Aska hanya diam menatap lurus ke depan ditambah lagi dengan wajahnya yang memerah dan bibir pucatnya.
"Gue ga papa", Aska mengalihkan perhatiannya ke arah Zidan disertai dengan senyuman andalannya.
"Ga papa pala lo botak! Liat noh muka lo pucet gitu !", Kesal Zidan sembari memberikan sebuah cermin yang selalu tersedia di laci mejanya.
Aska terkekeh sambil menerima cermin dari Zidan. Dia kadang berpikir, Laci Zidan itu sudah seperti kantong doraemon di kehidupan nyata. Apa apa aja ada di dalamnya.
"Kemana?", Tanya Aska kaget karena Zidan tiba tiba menyeretnya ke luar kelas.
"UKS", jawab Zidan seadanya. Zidan masih kesal, temannya yang satu ini memang susah dibilangin kalo masalah kesehatannya sendiri.
"Gue serius ga papa Dan", ujar Aska meyakinkan Zidan. Namun, Zidan tidak menghiraukannya.
Sesampai di UKS
"Lo baring dulu! Gue mau ke kantin beli bubur", titah Zidan tak terbantahkan. Lalu ia berjalan keluar.Aska menghela nafasnya. Dia mengelus dadanya. Memang benar sedari tadi dadanya terasa sesak dan sedikit nyeri. Tapi Aska berusaha menyembunyikannya dari sahabatnya itu. Karena tingkat kepekaan Zidan terlalu tinggi, jadi sia sia usahanya itu.
Atensi Aska teralihkan saat mendengar pergerakan seseorang di ranjang sebelahnya. Deg, Aska tersentak. Itu kakaknya, Arka. Dia memperhatikan Arka yang sedang tertidur tidak nyaman disertai peluh yang membanjiri wajahnya. Sepertinya Arka mimpi buruk.
Aska berniat untuk membangunkan kakaknya tapi ia urungkan ketika mata sang kakak langsung terbuka dan langsung menatapnya dengan tajam. Aska menunduk takut.
Nafas Arka masih terengah engah sambil menatap Aska yang tidak mau menatapnya. Arka beranjak dari baringannya dan berjalan ke arah Aska.
"Lo! Lo yang bunuh Ayah dan buat mama pergi ninggalin gue!", Teriak Arka. Tangan Arka sudah bertengger manis pada leher Aska.
Hati Aska berdenyut nyeri mendengarkan perkataan sang kakak.
Aska berusaha melepaskan tangan sang kakak yang mencekiknya. Wajah yang sudah memerah jadi bertambah merah. Aska butuh udara buat bernapas. Namun, udara seakan pergi meninggalkannya.
Aska memberanikan diri menatap sayu mata sang kakak. Dia bisa melihat dengan jelas kilat amarah pada mata Arka. Arka yang ditatap seperti itu oleh Aska jadi terdiam tanpa melepaskan tangannya pada leher sang adik. Dia melihat binar keputusasaan disana.
Hingga suara dari pintu terdengar menyadarkan mereka. Zidan bergegas menghampiri Aska yang sudah kehabisan udara. Dia melepaskan paksa tangan Arka pada leher Aska, lalu menatap tajam kakak dari sahabatnya itu.
"Brengsek! Lo mau bunuh temen gue?", Ucap Zidan marah pada Arka sambil manarik kerah kemeja Arka. Yap, Zidan memang sudah tau bagaimana kehidupan Aska. Bagaimana perlakuan buruk sang kakak pada Aska. Zidan juga mengetahui perihal kesehatan Arka.
"Jaga mulut lo!", Ucap Arka datar pada Zidan. Arka melepaskan tangan Zidan pada kerah kemejanya dengan kasar. Dia beralih menatap Aska dengan wajah pucatnya dan kesulitan bernapas.
"Urus tuh temen lo, udah hampir mati", ejek Arka pada Zidan lalu berlalu pergi.
Zidan yang mendengar perkataan Arka beralih menatap Aska yang nafasnya sudah terengah engah.
"Ka, masih sesak? Dada lo nyeri?", Cemas Zidan pada Aska. Aska yang mendengar pertanyaan Zidan berusaha tersenyum dan menjawab.
"Gue ga papa Dan", ucap Aska meyakinkan Zidan. Dia tidak tega melihat wajah khawatir sahabatnya.
Zidan sudah muak mendengar kata 'gue ga papa Dan' dari mulut Aska itu. Nyatanya gak papanya Aska itu berbanding terbalik dengan keadannya sekarang. Aska ini hobi sekali membuat Zidan darah tinggi.
Selanjutnya keduanya hanya bungkam dengan pikirannya masing masing. Hingga tiba tiba suara Zidan terdengar memecah keheningan.
"Ka, Lo kenapa diam aja sih digituin sama kak Arka? Apa karena dia itu kakak lo? Lo juga berhak ngebela diri lo Ka", Ucap Zidan pada Arka dengan nada frustasi. Aska menoleh ke arah Zidan lalu ia tersenyum miris.
Zidan terdiam. Zidan tau senyum itu. Senyuman yang menyimpan begitu banyak luka. Zidan tidak tau entah seberapa banyak luka yang sudah Aska dapatkan, tapi dia sangat pandai menyembunyikannya dengan senyuman di wajahnya.
Kalau boleh jujur, Zidan sudah amat sering mendapati kejadian seperti tadi. Arka yang sering memukul Aska tanpa sebab dan Aska hanya diam tidak membalasnya. Kalau Zidan jadi Aska, ingin sekali dia menonjok muka tampan kakak sahabatnya itu.
***
Aska menatap pintu yang ada di hadapannya. Dia menghela napas sejenak. Tampilannya sekarang sangat kacau. Seragam yang berantakan ditambah lagi dengan wajah yang pucat.
Di tengah perjalanan pulang tadi, dia tiba tiba dihadang oleh sekelompok remaja badungan yang sedang nongkrong di tepi jalan. Aska tidak bisa memberi perlawanan karena dia hanya sendiri. Uang dan hpnya diambil. Untung saja dia masih diberi kesempatan untuk pulang walaupun dengan keadaan yang bisa dikatakan tidak baik baik saja.
Cklek
"Lo pikir lo siapa bisa pulang seenaknya?", Arka tersentak, itu suara kakaknya. Dia mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Disana, di ruang tv dia bisa melihat kakaknya ditemani dengan Delvin yang duduk manis di sofa.
Saat Aska ingin buka suara untuk menjawab, ia urungkan niatnya. Sekalipun dia bersuara menjelaskan, Arka tidak akan mendengarkannya.
"Aska, kok lo baru pulang? lo udah makan?", Aska melihat Delvin yang berjalan menghampirinya.
Aska beralih menatap Delvin. Kalau dipikir pikir Delvin itu selalu berbuat baik kepada Aska. Dia tidak pernah mengabaikannya seperti yang selalu dilakukan Arka kepadanya. Namun, entah kenapa melihat kedekatan Delvin dengan Arka, Aska menjadi iri. Aska masih belum bisa menerimanya.
"Ka.. Aska..!", Delvin menyadarkan lamunan Aska yang menatap kosong ke arahnya.
"Lo ga papa Ka? Muka lo pucat", khawatir Delvin yang sedari tadi memperhatikan wajah Aska.
Arka yang tengah asik menonton tv, mengalihkan perhatiannya sebentar ke arah Aska. Hanya sebentar. Sedari tadi matanya memang tertuju ke arah tv tapi dia mendengarkan semua percakapan Delvin dengan Aska.
"Gue ga papa Vin", balas Aska. Tidak lupa dengan senyum tipisnya.
"Lo langsung istirahat aja", ucap Delvin dan dibalas anggukan oleh Aska.
Aska menatap sekali lagi ke arah sang kakak. Sama. Kakaknya masih diam. Aska tersenyum miris. Kakaknya benar benar tidak memperdulikannya. Kenapa dia mengharapkan kekhawatiran sang kakak? Padahal dia sendiri tau kalau itu tidak akan pernah terjadi. Tidak akan pernah.
Sesampainya di kamar, Aska langsung bergegas mandi untuk membersihkan badannya yang sudah lengket. Entah kenapa, hari ini badannya sangat lemas dan tubuhnya terasa remuk sana sini.
Aska mendudukkan dirinya di atas ranjang. Mata Aska tidak sengaja melihat bingkai foto di atas nakas. Foto dirinya dengan sang ayah. Saat saat seperti ini Arka sering kali teringat dengan sang ayah. Arka sangat merindukan pelukannya. Biasanya pelukan sang ayahlah yang akan menguatkan dan menenangkannya.
Tidak terasa setetes air mengalir di pipinya. Dia buru buru menghapusnya. Dia tidak boleh menangis karena itu akan membuat dia kelihatan lemah. Dia tidak mau seperti itu.
Aska lantas membaringkan tubuhnya.
Dia benar benar sangat lelah hari ini.***
Hai hai
Next ga nih?Mau nanya
Arka terlalu jahat kah?Satu kata buat Aska😊
Jangan lupa VOMENT ya😊
See you💕

KAMU SEDANG MEMBACA
ASKA
Teen FictionSemua orang punya batas kesabaran masing-masing bukan? *** Hai hai selamat datang di cerita pertamaku Masih belajar😊 Jangan lupa follow dulu yaa Vomentnya jangan lupa Don't copy paste my story!! Ini murni dari imajinasiku ya😉😊 Happy reading✨